Rabu, 25 April 2012

Khutbah - PENGORBANAN

DALAM kitab Suci al-Qur'an, Nabi Ibrahim pernah berdo'a:

"Ya Tuhan, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang akan termasuk orang-orang yang saleh."

Maka Allah menyampaikan kabar gembira dengan seorang anak yang santun yang diberi nama Ismail. Dan ketika Ismail telah mencapai usia untuk bekerja bersamanya, Ibrahim meminta pendapat kepada puteranya:

"Wahai anakku, sesungguhnya aku telah melihat dalam tidurku bahwa aku mengorbankan engkau. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu?"

Ismail menjawab:
"Wahai bapakku, laksanakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu itu, dan engkau akan mendapati diriku, insya Allah termasuk mereka yang tabah."

Maka, ketika mereka berdua, Ibrahim dan Ismail, itu telah pasrah, dan tatkala Ibrahim merebahkan Ismail pada wajahnya (untuk dikorbankan), Allah berseru kepada Ibrahim:

"Wahai Ibrahim, engkau sungguh telah membenarkan mimpimu!"

Begitulah rekaman dalam Kitab Allah (Q. al-Shaffat/37: 102-111) tentang kisah dua insan, ayah anak yang amat mengaharukan; tentang dua hamba-Nya yang saleh, dua orang Rasul yang kelak menjadi contoh bagi umat manusia tentang bagaimana mentaati perintah Allah. Dalam Firman itu Ibrahim dan Ismail menemukan Tuhan dalam perintahnya untuk berkurban. Mereka mencari ridla dalam semangat berkurban, dan dalam ayat itu pula tercatat dengan jelas bahwa Ibrahim telah melaksanakan korban, dan Ismail, sang anak yang menjadi korban, telah memperlihatkan dengan sebaik-baiknya bahwa mereka memiliki semangat berkorban yang tinggi.

Marilah kita renungi lebih mendalam, apakah arti korban itu? Mengapa kita dituntut untuk memiliki semangat berkorban yang setinggi-tingginya? Mengapa kita diperintahkan untuk mencontoh Nabi Ibrahim dan puteranya, Ismail, dan mempelajari semangat pengorbanan mereka?

"Qurban" adalah kata-kata Arab, yang artinya ialah "pendekatan," yaitu pendekatan kepada Tuhan. Maka, melakukan qurban adalah melakukan sesuatu yang mendekatkan diri kita kepada Tuhan, yakni mendekatkan diri kita kepada tujuan hidup kita. Sebab, kita memang "berasal dari Allah, dan kembali kepada-Nya."

Oleh karena itu, dalam praktik, dalam bentuknya yang nyata, tindakan berkorban adalah tindakan yang disertai pandangan jauh ke depan, yang menunjukkan bahwa kita tidak mudah tertipu oleh kesenangan sesaat, kesenangan sementara, kemudian melupakan kebahagiaan abadi, kebahagiaan selama-lamanya. Maka Ibrahim tidak mau tertipu oleh kesenangan mempunyai seorang anak kesayangan, yaitu Ismail, dan dia tidak ingin lupa akan tujuan hidupnya yang hakiki, yaitu Allah Swt.

Maka Ibrahim pun bersedia mengorbankan anaknya, lambang kesenangan dan kebahagiaan sesaat dan sementara itu, yaitu kesenangan duniawi. Sebab Ibrahim tahu dan yakin akan adanya kebahagiaan abadi dalam ridla dan perkenan Allah Swt. Ismail pun tidak mau terkecoh oleh bayangan hendak hidup senang di dunia ini, tapi kemudian melupakan hidup yang lebih abadi di Akhirat kelak. Maka ia pun bersedia mengakhiri hidupnya yang toh tidak akan terlalu panjang itu, dan pasrah kepada Allah, dikorbankan oleh ayahnya.

Oleh karena itu, makna berkorban ialah bahwa dalam hidup, kita melihat jauh ke masa depan dan tidak boleh terkecoh oleh masa kini yang sedang kita alami; bahwa kita tabah dan sabar menanggung segala beban yang berat dalam hidup kita saat sekarang. Sebab, kita tahu dan yakin bahwa di belakang hari kita akan memperoleh hasil dari usaha, perjuangan, dan jerih payah kita.

Makna berkorban ialah bahwa kita sanggup menunda kenikmatan kecil dan sesaat, demi mencapai kebahagiaan lebih besar dan kekal. Kita bersedia bersusah payah, karena hanya dengan susah payah dan kesungguhan itu, suatu tujuan tercapai, dan cita-cita terlaksana.

Allah berfirman, "Sesunggunya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan; (sekali lagi), sesunggunya beserta setiap kesulitan itu akan ada kemudahan. Maka, bila engkau telah bebas (dari suatu beban), tetaplah engkau bekerja keras, dan berusahalah mendekat terus kepada Tuhanmu" Al-Insyirah/94: 5-8.

Semangat berkorban adalah cermin takwa kepada Allah. Sebab takwa itu jika dijalankan dengan ketulusan dan kesungguhan, akan membuat kita mampu melihat jauh ke depan; mampu menginsafi akibat-akibat perbuatan saat ini di kemudian hari, kemudian menyongsong masa mendatang dengan penuh harapan. Marilah kita renungkan firman Allah dalam kitab suci al-Quran mengenai hal ini:

"Wahai sekalian orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaknya setiap orang memperhatikan apa yang ia perbuat untuk hari esok! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.
Q al-Hasyr/ 59:18.

Firman itu mengandung perintah Ilahi untuk bertakwa. Dan dalam perintah takwa itu sekaligus diingatkan agar kita membiasakan diri menyiapkan masa depan. Maka kuranglah takwa seseorang jika ia kurang mampu melihat masa depan hidupnya yang jauh, jika ia hidup hanya untuk di sini dan kini, di tempat ini dan sekarang ini. Atau, dalam ukurannya yang besar, di dunia ini dan dalam hidup ini saja! Tetapi justru inilah yang sulit kita sadari. Sebab manusia mempunyai kelemahan berpandangan pendek, tidak jauh ke depan.

"Sesungguhnya mereka (manusia) itu mencintai hal-hal yang segera, dan melalaikan di belakang mereka masa yang berat." Al-insan/ 76: 27.

Maka manusia pun tidak tahan menderita dan menerima cobaan. Tidak tabah memikul beban. Dan, selanjutnya, tidak tahan melakukan jerih payah sementara, karena mengira bahwa jerih payah itu kesengsaraan, dan menyangka bahwa kerja keras itu kesusahan! Padahal, justru di balik jerih payahnya itu akan terdapat manis dan nikmatnya keberhasilan dan sukses. Justru di balik pengorbanan itulah akan terasa nikmatnya hidup karunia Tuhan yang amat berharga ini.

Apa sebenarnya yang membuat orang enggan berkorban dan berjerih payah, serta tidak bersedia menempuh kesulitan sementara, menunda kesenangan sesaat? Memang, biasanya orang ingin hidup egois, hidup untuk diri sendiri dan kesenangan sendiri. Akibatnya, ketika ia menerima kesulitan, kesusahan, percobaan dan persoalan, ia mengira bahwa hanya ia sendirilah yang sedang dirundung kemalangan itu.

Lalu ia pun mengeluh dalam hati, memprotes dalam batin, mengapa ia dibuat sengsara, ditimpa berbagai persoalan? Mengapa ia dirundung kesulitan? Mengapa? Dan mengapa? Padahal tidaklah demikian keadaan dan hakikat hidup yang sebenarnya. Kesulitan adalah bagian dari hidup. Justru jika diterima dengan sabar dan tabah, kesulitan akan menjadi 'bumbu' hidup.

Dan di kala kita sedang menderita atau kurang mujur, kita harus tahu serta sadar, bahwa sebenarnya tidak hanya kita saja yang mengalami kesulitan, menerima kesusahan, dan ditimpa penderitaan. Tentang ini, Allah memperingatkan kita:

"... Jika kamu merasakan penderitaan, maka sesungguhnya mereka (orang-orang lain) pun menderita seperti kamu; namun kamu mengharap dari Allah sesuatu yang mereka (orang-orang lain itu) tidak mengaharap ..." al-Nisa/4: 104.

Jadi memang, kita dan mereka --kita orang-orang yang percaya kepada Allah, yang beriman, dan mereka yang tidak percaya, yang kafir-- adalah sama-sama menderita. Tetapi, justru dalam penderitaan itu kita berbeda dengan mereka. Sebab dalam penderitaan itu, kita tetap berpengharapan dan optimis kepada Tuhan.

Maka sungguh pantang bagi orang yang beriman kepada Allah, jika sedang menderita, lalu "ngenes," meratapi nasib dan menyesali perjalan hidup itu, kemudian kehilangan gairah kepada hidup itu sendiri. Sebab tidak seorang pun di antara manusia ini yang pernah benar-benar lepas dari pengalaman yang pahit. Justru kita harus menerima penderitaan itu dan sabar menanggungnya. Kemudian jadikan cambuk, malah modal, untuk berjuang, berusaha sungguh-sungguh dan ber-mujahadah dengan menanamkan semangat berkorban.

Semangat berkorban itulah yang akan melepaskan diri kita dari kungkungan penderitaan. Dan Allah tidak menyia-nyiakan atau membiarkan kita sendirian. Sebab di balik setiap penderitaan itu, seperti janji Allah sendiri, terdapat kenikmatan dan kebahagiaan. Tidak ada seruas dari perjalanan hidup kita yang berlalu dengan percuma. Kita hendaknya selalu mengingat gugatan Allah dalam Kitab Suci:

"Apakah kamu menyangka kamu bakal masuk surga, padahal belum disaksikan oleh Allah siapa di antara kamu yang berjuang, bersusah payah, menempuh kesulitan, dan (belum disaksikan pula) siapa yang sabar, tabah, dan tahan menderita?" Q. Alu-Imran/ 3:142

Berusaha dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras adalah hakikat hidup yang bermakna. Sementara itu pengorbanan adalah tuntutan perjuangan yang tak terelakkan. Keduanya harus diiringi dengan sikap lapang dada, sabar, dan tahan menderita. Hanya pandangan serupa itulah yang akan memberi kenikmatan hakiki dan kebahagaiaan sejati.

Itulah semangat pengorbanan Ibrahim yang pasrah hendak mengorbankan anaknya, Ismail. Dan itulah pula semangat Ismail, yang pasrah menyerahkan dirinya untuk dikorbankan. Kedua insan, ayah dan anak itu menjadi contoh bagi kita semua, umat manusia, tentang bagaimana ketulusan berkorban, serta melawan godaan hidup senang sesaat, karena hendak mencapai hidup bahagia abadi. Itulah ruh yang terkandung dalam ajaran berkorban. Dengan semangat pengorbanan yang tinggi kita mendekatkan diri kepada Allah, dan dengan ridha Allah kita akan mendapatkan kebahagiaan abadi dan sejati. Amin ya Robbal alamin.

Barakallah... , Selasa 10 januari 2006
Madjid, Nurcholish, "Masyarakat Religius: Membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat," Jakarta: Paramadina, cet. II, April 2000. hal. 54 - 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar