Kamis, 31 Januari 2013

Khotbah - Bahagia ala Rasulullah

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Kepada-Nya kita menyembah. Kepada-Nya kita memohon petunjuk. Dan kepada-Nya kita  memohon pertolongan.

 

Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang memberitakan petunjuk bahagia di alam dunia menuju alam akhirat.

 

Demikian juga kepada para keluarga, sahabat, pengikut, dan pemegang agamanya sampai datangnya yaumul makhsyar, hari di mana seluruh manusia dikumpulkan.

 

Allah berfirman dalam al-Imron 14,

 

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

 

3.14. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak. Harta dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

 

Kesenangan, atau tepatnya kebahagiaan adalah dambaan semua orang. Tua-muda, besar-kecil, laki-perempuan, semua menginginkan bahagia, meskipun tingkat bahagia itu bermacam-macam.

 

Orang fakir mengatakan bahagia ada pada kekayaan. Orang sakit mengatakan bahagia ada pada kesehatan. Orang yang terjerumus ke lembah dosa mengatakan bahwa terhenti dari dosa, itulah kebahagiaan. Seorang pemimpin negara berpendapat bahwa kemerdekaan dan persatuan umat, itulah bahagia.Dan seterusnya dan seterusnya.

 

Bila diteruskan, bahagia itu mempunyai rumusan sebanyak orang, sebanyak penderitaan, sebanyak pengalaman, atau pun sebanyak kekecewaan.

 

Apakah bahagia yang kita cari itu sudah benar? Sejenak, mari kita tengok beberapa pendapat tentang bahagia.

 

Zaid bin Tsabit, ahli syair zaman Rasulullah berkata, "Jika pagi dan petang seorang manusia telah aman dari gangguan manusia, itulah dia orang bahagia."

 

Ibnu Khaldun, seorang pemikir Islam berpendapat, "Bahagia itu tunduk dan patuh mengikuti garis yang ditentukan Allah dan peri kemanusiaan."

 

Imam al-Ghazali berpendapat, "Bahagia dan kelezatan sebenarnya adalah bilamana dapat mengingat Allah."

 

 "Tiap-tiap sesuatu akan merasakan bahagia bila sesuai dengan tabiat kejadiannya. Kenikmatan mata adalah melihat rupa yang indah. Kebahagiaan telinga adalah mendengar suara merdu. Demikian pula seluruh anggota tubuh lainnya. Ada pun kelezatan hati adalah makrifat atau mengenal Allah, karena hati diciptakan untuk mengingat Allah. Setiap bertambah dekat dengan Allah, bertambah pula kelezatan yang dirasakan," demikian tambah al-Ghazali.

 

Lalu bagaimana pendapat Rasulullah tentang bahagia?

 

 "Allah mebagi akal kepada 3 bagian. Siapa mempunyai ketiganya, sempurnalah akalnya. Bila kurang, meskipun sebagian, maka tidak sempurnalah akalnya," begitu Rasulullah berpesan.

 

Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apa saja 3 bagian itu?"

 

Jawab Rasul, "PERTAMA baik makrifatnya kepada Allah, KEDUA baik taatnya kepada Allah, KETIGA baik pula sabarnya atas ketentuan Allah."

 

Dari sabda Nabi itu dapat disimpulkan bahwa tingkat kebahagiaan itu sebanding dengan derajat akalnya. Kesempurnaan bahagia ada pada kesempurnaan akal.

 

Sehingga Firman Allah dalam ayat di muka adalah peringatan, bahwa wanita-wanita, anak-anak, dan harta benda ---baik dalam bentuk emas, perak, kendaraan, ternak, atau pun sawah ladang--- itu dijadikan indah pada pandangan manusia. Itu semua bersifat sesaat, dan sementara di dunia ini. Kemudian ayat itu ditutup dengan catatan, "WALLAAHU 'INDAHUU HUSNUL MA'AAB, di sisi Allah-lah tempat kembali (kebahagiaan) yang sesungguhnya."

 

Di sinilah pesan spiritual ayat itu. Jangan sampai kebahagiaan dunia yang Allah beri dengan sesaat itu melalaikan kita untuk meraih kebahagiaan yang sesungguhnya, yakni mengenal Allah Sang Pencipta. Wallahu a'lam.

 

Barakallah ….

Bhayangkara, 1 Feb 2013

Jumat, 25 Januari 2013

Khotbah - Kebencian

Salah satu sifat yang patut kita teladani dari kanjeng Nabi Muhammad adalah memiliki hati yang lapang, atau tidak membenci seseorang.

Sebagai introspeksi, Adakah seseorang yang kita benci? Siapa dia? Bila ada, itu manusiawi. Tetapi segeralah buang rasa benci itu. Mengapa? Karena rasa benci itu sangat merugikan. Ia seperti api yang membakar kayu. Ia seperti keburukan yang membakar kebaikan.

Apabila rasa benci kepada seseorang masih bersemayam, setidaknya ada tiga kerugian. PERTAMA, kebencian itu menutup kebaikan dan amal sholeh. Contohnya, ketika orang yang kita benci memerlukan sesuatu, kita enggan membantunya. Padahal sebenarnya kita bisa membantunya karena memang bisa, atau punya sesuatu yang mereka perlukan. Bila ini terjadi, kita kehilangan peluang untuk beramal sholeh, di mana amal soleh adalah salah satu pintu untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Swt.

KEDUA, kebencian itu menggerogoti kesehatan. Ternyata sehat bukan hanya karena rajin olah raga, makan teratur atau cukup istirahat. Menurut pakar-pakar kesehatan, "penyakit hati" seperti dengki, egois, sombong, serakah, iri, dan tentu benci di dalamnya, itu bisa memicu timbulnya penyakit di dalam diri.

Jadi, apabila kita sudah rajin olah raga, sudah mengatur pola makan, dan istirahat cukup, namun penyakit masih juga setia menemani hidup kita, segera introspeksilah. Mungkin masih ada kebencian dan penyakit-penyakit hati lainnya yang bersemayam di dalam hati. Bersihkanlah segera sebelum semakin kronis.

KETIGA, kebencian membuat hidup jadi gelisah. Kita akan selalu berusaha menghindar berjumpa dengan orang yang kita benci. Saat jumpa dengan mereka, perasaan kita benar-benar tidak suka, dan berharap segera berpisah. Saat orang yang kita benci mendapatkan kebaikan, hati pun terkadang marah dan gelisah. Sehingga tepat, kebencian itu bisa menjauhkan kita dari ketenangan dan kebahagiaan.

APAKAH kita tidak boleh memiliki rasa benci? Tentu boleh. Tapi gunakanlah rasa benci itu pada tempat yang tepat. Bencilah perbuatan dosa. Bencilah kemaksiatan. Bencilah perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain dan lingkungan. Bencilah sesuatu yang bisa menjauhkan cinta kita kepada Allah, Sang Pencipta. Wallahu a'lam.

 

Baarakallah …

Bhayangkara Baru, 2 Februari 2013

Minggu, 13 Januari 2013

MetroTV Mobile - Benarkah Manusia Bebas?

http://www.metrotvnews.com/mobile-site/read/kolom/2012/12/03/297/Benarkah-Manusia-Bebas?

« BACK

Download
Aplikasi

Info Iklan
Copyright © metrotvnews.com 2011

Senin, 03 Desember 2012 21:42 WIB
Benarkah Manusia Bebas?

Hidup itu bagaikan
permainan catur.
Manusia bebas
bergerak ke mana
dia mau, namun pola
gerakannya terikat
dengan ketentuan
yang sudah pasti.
Perhatikan saja
permainan catur,
setiap aktor yang berada di atas papan
terikat dengan pola gerakan yang sudah
pasti. Jika dilanggar, permainan catur jadi
buyar. Analogi ini bisa juga diterapkan
pada permainan lain, misalnya sepak bola.
Pemain bebas bergerak melampiaskan
kemerdekaannya, namun tetap ada
batasan yang mengikat dan mesti
dipatuhi. Demikian juga halnya dalam
panggung kehidupan. Tuhan memberi
anugerah kebebasan atau kemerdekaan,
namun manusia diikat oleh berbagai
kepastian dan keterbatasan.

Batas yang paling mudah dilihat dan tidak
bisa ditawar adalah keterbatasan fisiknya.
Alam membatasi manusia tidak bisa
terbang seperti burung atau menyelam ke
dasar laut bagaikan ikan, sekalipun
manusia memiliki kebebasan berimajinasi
untuk melakukannya. Baru nanti dengan
kreasi akalnya manusia menciptakan
pesawat terbang atau kapal selam untuk
dikendarai. Batasan yang paling nyata dan
pasti tentu saja umur.

Diskusi apakah manusia memiliki
kebebasan berpikir dan bertindak menjadi
semakin rumit dan mengundang
perdebatan abadi ketika dibawa ke ranah
teologi dan ilmu sosial. Benarkah tindakan
seseorang murni hasil pilihan dan kreasi
dirinya ataukah tanpa disadari digerakkan
oleh aktor lain yang mendominasi?
Terdapat mazhab dalam teologi Islam
yang menyatakan bahwa manusia tak
ubahnya wayang, sedangkan Tuhanlah
sang Dalang yang menggerakkan. Dalam
ilmu sosial dan psikologi juga terdapat
pikiran serupa. Bahwa pikiran dan
tindakan seseorang itu tanpa disadari
merupakan pengaruh luar, baik
lingkungan, genetik, pendidikan, struktur
politik, dan lain sebagainya. Sampai
tingkat tertentu manusia memang tetap
memiliki kebebasan, namun terdapat
kekuatan luar yang tidak sanggup dia
kontrol dan tolak yang begitu dominan
memengaruhi dan menggerakkan
perilakunya.

Contoh yang paling mudah diamati adalah
setiap anak terlahir di luar pilihannya.
Selanjutnya akan diasuh oleh lingkungan
budayanya yang sangat memengaruhi
perasaan, pikiran, dan perilakunya, seperti
dalam berbahasa, selera makan, dan
sistem kepercayaan yang dianutnya.
Bahkan faktor geografis tempat lahir dan
tumbuh juga memengaruhi pola hidupnya.

Secara teoretis setiap orang memiliki
kebebasan yang dengannya menjadi
syarat sebuah tindakan akan dikatakan
baik atau buruk. Tindakan apa pun tanpa
adanya kebebasan untuk memilih akan
sulit dikategorikan baik atau buruk, jika hal
itu dilakukan secara terpaksa atau
kehilangan akal. Itulah sebabnya orang
yang hilang akalnya, anak kecil, atau
terpaksa, hukuman tidak berlaku. Bahkan
untuk ber-Islam dan beriman padaTuhan
disyaratkan adanya pilihan bebas, bukan
karena paksaan. Paksaan akan merampas
ketulusan. Namun, sekali lagi, secara
sosiologis dan psikologis perlu disadari
bahwa perilaku seseorang ternyata juga
dipengaruhi dan digerakkan oleh faktor-faktor yang bekerja di luar dirinya.

Dengan demikian kita dituntut bersikap
bijak, jangan mudah menghakimi dan
menyalahkan orang lain karena tindakan
apa pun pasti ada faktor luar yang kadang
kala memaksanya untuk melakukan.
Hanya orang-orang yang memiliki daya
kritis, kepribadian kuat dan mampu
menjaga integritasnya yang sanggup
melawan dorongan luar yang akan
merusak kefitrian orang yang selalu
menginginkan kebaikan, kebenaran,
keindahan,dan kedamaian.

Meminjam istilah psikologi, dalam setiap
orang terdapat archetype, sebuah struktur
kejiwaan yang juga dipengaruhi sistem
sosial tempat seseorang lahir dan tumbuh.
"Archetypes are nothing more than the
deep structures in the psyche and social
system," kata Carol S Pearson. Dalam
bahasa sains, archetype ini disebut
fractals, sebuah struktur yang menyangga
dan bekerja bagi eksistensi semesta ini.

Jadi, archetype ini tampaknya sebuah
kombinasi antara potensi diri yang
senantiasa melekat, kebebasan
berkehendak dan memilih, serta kekuatan
pengaruh lingkungan yang ketiganya
berperan mengarahkan tindakan
seseorang. Dengan memahami archetype,
seseorang akan sangat terbantu melihat
posisi dirinya dalam setiap langkah
hidupnya karena archetype akan
menyajikan dan menjelaskan potret diri
dalam adegan serial drama dan film
kehidupan yang tiap hari kita jalani.

Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah,
Jakarta.

Selasa, 08 Januari 2013

Ikhlas Beramal


Oleh Jarjani Usman


"Katakanlah: 'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam'" (QS. Al An'am: 162).

Hingga awal tahun 2013, jauh sudah perjalanan yang ditempuh manusia menuju akhirat. Dalam perjalanan yang jauh ini, beragam corak manusia telah terbentuk. Beruntung terbentuk menjadi orang-orang yang senantiasa ikhlas dalam beramal, sebaliknya pasti merugi menjadi orang-orang yang merasa berat dan tidak ikhlas dalam beramal. Pasalnya, keikhlasan bagaikan nyawa setiap amalan. Ibnul Qayyim mengibaratkan orang yang tidak ikhlas beramal bagaikan musafir yang mengisi kantongnya dengan kerikil pasir; hanya menambah berat beban, tetapi tidak bermanfaat.

Salah seorang sahabat Nabi, Saiyidina Ali, pernah mengatakan bahwa ikhlas beramal hanya tumbuh bila ada rasa cinta kepada Allah. Katanya, kalau beribadah karena rasa takut kepada Allah, itu ibadah hamba; kalau beribadah untuk mendapatkan pahala, itu ibadahnya pedagang; dan kalau beribadah karena kecintaan kepada Allah, barulah dinamakan ibadah yang benar-benar ikhlas.

Dengan demikian, sangat berbahaya bekerja atau beribadah bukan karena Allah, tetapi mengharapkan keuntungan seperti uang, pujian, dan perhatian dari manusia. Makanya tidak mengherankan kalau ada pekerja proyek fasilitas umum seperti rumah sakit atau jalan, yang melaksanakannya tidak sesuai dengan kualitas yang telah disepakati. Juga ada yang melakukan korupsi bahkan dalam proyek pengadaan kitab suci Alquran. Demikian juga beribadah karena mengharapkan pujian, akan tak bersemangat melakukannya bila tidak dilihat orang. Padahal dalam shalat, kita selalu berjanji mempersembahkan segalanya kepada Allah.

Tafakur - Keterlaluan


Oleh Jarjani Usman


"Wahai orang yang esok hari bila diseru oleh manusia akan menyambutnya, dan bila diseru oleh Yang Maha Besar (Allah) dia berpaling dan mengesampingkan. Ketahuilah, apabila kamu minta, Aku memberimu; jika kamu berdoa kepada-Ku, Aku kabulkan; dan apabila kamu sakit, Aku sembuhkan; dan jika kamu berserah diri, Aku memberimu rezeki; dan jika kamu mendatangiKu, Aku menerimamu; dan bila kamu bertaubat, Aku ampuni (dosa-dosa)mu; dan Aku Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih" (HR. Tirmidzi dan Al Hakim)

Bila menghitung nikmat Allah yang kita nikmati setiap hari, sungguh tak sanggup. Bukan hanya nikmat makanan, tetapi juga nikmat kesehatan berbagai anggota tubuh. Serta nikmat hidup bersama di dunia ini. Segala macam nikmat itu tak akan mampu kita bayar, bila diharuskan membelinya. Mengobati satu macam yang rusak saja seringkali tak sanggup, apalagi mengobati seluruhnya. Namun anehnya, banyak yang berpaling dari seruan Allah.

Banyak yang lebih patuh kepada manusia ketimbang kepada Allah. Untuk bertemu dengan atasan atau pejabat saja, kebanyakan kita sangat serius mempersiapkan diri. Bukan hanya berbaju yang pantas, tetapi juga memperindah ucapan, menjaga ketepatan waktu, dan membersihkan tempat pertemuan. Takut "kehilangan muka" atau malu dengan orang terhormat, bila tak berbuat demikian.

Namun ketika ingin bertemu dengan Allah, tidak sedikit di antara kita yang mengabaikan cara berpakaian. Juga tak mau peduli terhadap benar-tidaknya kata-kata yang diucapkan. Serta seringkali tak mau membersihkan tempat pertemuan. Yang lebih sering juga adalah tak tepat waktu. Janji bertemu waktu magrib, ada yang mengulurkannya hingga waktu isya. Dan ada yang tak menepati samasekali, bahkan hingga bertahun-tahun. Namun, tak takut "kehilangan muka" dengan Allah.

Keadaan ini menunjukkan perilaku sebahagian kita yang keterlaluan. Entah kapan keterlaluan seperti itu akan berakhir. Meskipun demikian, Allah tak rugi samasekali dengan keterlaluan kita; kita lah yang sangat merugi dunia dan akhirat.