Jumat, 03 Januari 2014

Siapa masih punya Malu, tanda Dia masih Beriman!

Satu di antara sebab utama terjadinya problem bahkan konflik di muka bumi ini adalah karena tidak adanya rasa malu. Nihilnya rasa malu, menjadikan manusia lebih buas dari buaya, lebih ganas dari singa dan lebih jahat dari binatang buas lainnya.

Tetapi tetap saja, rasa malu dianggap sebagai hal biasa. Sudah tidak banyak lagi yang menyadari bahwa rasa malu sejatinya sangat menentukan segala sesuatu, termasuk nasib suatu bangsa dan negara.

Seperti apa yang belakangan ini marak terjadi, korupsi, ketidakadilan, perselingkuhan, perampokan dan pembunuhan dan berbagai macam tindak kemaksiatan, termasuk yang kini lagi populer di ibu kota negara dengan istilah 'cabe-cabean', semua berawal dari tidak adanya rasa malu.

Malu ini adalah satu bentuk akhlak yang paling penting dari setiap Muslim. Akhlak yang sangat berpenaruh pada individu, keluarga, dan masyarakat. Namun sayang, akhlak ini seakan-akan sudah asing dalam kehidupan.

Kini, banyak berita di media yang isinya saling salah-menyalahkan, saling berlomba untuk diakui yang terhebat, terdepan dan terpercaya. Bahkan ada yang pamer aurat, cipika-cipiki dengan lawan jenis yang tidak halal.

Arti Malu

Dalam buku Akhlaq al-Mu'min yang ditulis oleh Amru Muhammad Khalid, malu diartikan sebagai terkendalinya jiwa. Yakni, ketidakmampuan seorang Muslim melakukan perbuatan-perbuatan tercela atau sesuatu yang buruk. Dengan kata lain, Muslim yang pemalu adalah Muslim yang tidak bisa melihat dirinya hina di hadapan Allah Ta'ala, di hadapan manusia, atau di hadapan dirinya sendiri.

Dengan demikian, Muslim yang pemalu adalah Muslim yang mulia. Ia memuliakan dirinya di hadapan Allah, di hadapan manusia, dan di hadapan dirinya sendiri. Berarti, Muslim yang pemalu adalah Muslim yang benar-benar kuat keimanannya, sehingga ia tidak melakukan kehinaan meski terhadap dirinya sendiri, lebih-lebih kepada orang lain, apalagi kepada Allah Ta'ala.

Kata haya' yang artinya malu berasal dari kata 'hayah' yang artinya 'Kehidupan.' Karena itu kalau kita berkata, "Orang itu malu," berarti orang itu memiliki denyut kehidupan yang kuat, sehingga ia benar-benar menjaga diri agar tidak terperosok dalam kehinaan.

Jadi, tidak salah jika ada ungkapan seperti ini, "Manusia yang paling sempurna hidupnya adalah manusia yang paling sempurna rasa malunya."

Malu bukan Minder

Namun demikian, masih banyak orang yang salah paham. Malu kadangkala dianggap sebagai sifat rendah diri alias minder. Padahal, keduanya sangatlah jauh berbeda. Menurut satu pendapat, minder diartikan sebagai kebingungan yang muncul pada diri manusia sebagai akibat dari situasi tertentu.

Lebih dari itu, minder tidak berasal dari keimanan yang kuat. Ia justru lahir dari sifat pengecut dan dari sifat takut. Karena pribadi yang minder adalah pribadi yang lemah, yang tidak mengetahui nilai dirinya.

Sedangkan malu, tidak bersumber dari sifat buruk seperti pengecut dan penakut. Malu bersumber dari keimanan yang kuat, sehingga Muslim yang pemalu adalah Muslim yang menjauhi segala bentuk kehinaan.

Bagian dari Iman

Rasulullah bersabda, "Iman mempunyai enam puluh lebih cabang. Dan malu adalah salah satu cabangnya." (HR. Bukhari).

Mari kita kaji secara logis, mengapa dari enam puluh cabang iman malu yang beliau sampaikan? Berarti, malu adalah pengantar terbaik seorang Muslim sampai pada 59 cabang iman lainnya. Mengapa?

Dengan malu, seorang Muslim tidak akan berzina, menampakkan auratnya kepada semua orang, mencuri apalagi korupsi. Bahkan dengan malu seorang Muslim tidak akan menghina atau membicarakan aib saudaranya. Jadi, malu bisa mencegah seorang Muslim dari berbuat jahat.

Kemudian, secara naqli, Rasulullah menjelaskan pada hadits yang lainnya. "Malu seluruhnya baik." (HR. Muslim). Kemudian pada hadits lainnya lagi, "Malu selalu mendatangkan kebaikan." (HR. Bukhari).

Dengan demikian, maka malu adalah out put keimanan. Siapa yang keimanannya baik maka rasa malunya akan sempurna. Atau, siapa yang malunya kuat, maka imannya sempurna. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah, "Malu dan iman saling bertaut. Jika salah satunya diangkat, yang lainnya juga terangkat." (HR. Hakim).

Jadi, tidak salah jika ada ungkapan, "Milik siapa kebaikan, iman dan akhlak?" Semuanya adalah milik Muslim yang memelihara rasa malu.

Tidakkah Kita Malu?

Suatu ketika datang seorang lelaki kepada Ibrahim ibn Adham dan berkata, "Wahai Imam, aku ingin bertaubat dan meninggalkan dosa. Tetapi, tiba-tiba aku kembali berbuat dosa. Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa melindungiku hingga aku tidak lagi bermaksiat kepada Allah."

Ibrahim ibn Adham pun menjawab, "Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, jangan bermaksiat di bumi-Nya."

Orang itu pun bertanya, "Lalu di mana aku bisa bermaksiat, sementara seluruh bumi ini adalah milik Allah?" Ibrahim ibn Adham pun menjawab, "Tidakkah engkau malu seluruh bumi ini milik Allah tetapi engkau masih bermaksiat di atasnya?"

"Jika engkau ingin bermaksiat, jangan memakan rizki dari-Nya. Orang itu pun bertanya, "Bagaimana aku bisa hidup?" Ibrahim bin Adham pun berkata, "Tidakkah engkau malu memakan rizki dari-Nya, sementara engkau bermaksia kepada-Nya?" "Tidakkah engkau malu bermaksiat kepada-Nya, sementara Allah senantiasa bersamamu dan dekat denganmu?"

Lalu, Ibrhamin ibn Adham melanjutkan, "Jika engkau tetap ingin bermaksiat, maka apabila malaikat maut datang kepadamu untuk mencabut nyawamu, katakan padanya, 'Tunggu sampai aku bertaubat!'"

Orang itu menjawab, "Adakah yang bisa melakukan itu?" Ibrahim berkata, "Tidakkah engkau malu malaikat maut datang kepadamu dan mengambil ruhmu sementara engkau dalam kondisi bermaksiat?"

Bercermin dari kisah hikmah ini, tentu kita tidak punya ruang sesenti pun untuk berbuat hina, kecuali Allah mengetahui. Sementara, setiap hari kita memakan rizki dari-Nya, hidup di bumi-Nya dan menikmati seluruh anugerah-Nya. Lantas, masihkah kita tidak malu kepada-Nya dengan tetap bangga di atas salah dan dosa-dosa yang setiap jiwa pasti pernah melakukannya?

Sekiranya penduduk negeri ini benar-benar beriman, tentu mereka akan malu bermaksiat kepada Allah. Dan, sekiranya penduduk negeri ini benar-benar serius memelihara rasa malunya, tentu tidak akan terjadi segala bentuk kerusakan moral, kerusuhan sosial, atau pun kehidupan bebas tanpa aturan.*


http://www.hidayatullah.com/read/2013/12/19/13470/siapa-masih-punya-malu-tanda-dia-masih-beriman.html

Muslim Sejati Tak Ragu Soal Rizki

AWAL tahun 2014 dunia diperhadapkan dengan berbagai macam situasi dan prediksi tak menentu, utamanya dalam hal ekonomi (rizki). Hal ini didasarkan pada beberapa isu keuangan dimana nilai mata uang rupiah terus mengalami penurunan terhadap dolar.

Khawatir tentu bukan sikap yang keliru. Karena khawatir atau takut itu merupakan bagian dari fitrah manusia. Tetapi, sebagai Muslim kita tidak boleh berlebihan dalam menyikapi berbagai macam isu yang muncul di media bahwa akan terjadi 'kekacauan' ekonomi, sehingga terbesit niat negatif.

Andaikata isu itu terbukti, sebagai Muslim kita tetap harus pada ke-Islam-an kita dengan penuh kesungguhan. Sebab, Allah yang Maha Memelihara alam ini tidak mungkin akan membinasakan hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman.

Tetaplah menjadi Muslim yang beriman dan bertakwa, jujur, bekerja secara profesional, penuh tanggung jawab dan perkuat niat mencari nafkah untuk jihad fi sabilillah bukan bermegah-megahan. Sebab rizki yang didapat dengan peras keringat, penuh daya dan upaya, lagi halal, sungguh amat dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Hindarilah berbagai macam spekulasi yang bisa mendorong lemahnya akal untuk berfikir jernih di atas landasan iman. Jauhi pemikiran-pemikiran dangkal yang bersumber dari angan-angan kosong. Atau prasangka-prasangka yang membuat hati was-was, ragu dan bingung, sehingga lupa bahwa Allah pasti akan menolong hamba-Nya.

Tawakkal Kepada Allah

Persoalan ekonomi (rizki) sesungguhnya perkara mutlak yang telah Allah tetapkan bagi setiap manusia, baik dia beriman maupun kafir.

Artinya, sebagai Muslim, hendaknya kita tidak terpengaruh dengan isu apa pun. Sekalipun ada fakta bahwa ekonomi bangsa akan mengalami masalah, hal itu harus menjadi media penting untuk semakin memperkuat iman dan takwa dengan bertawakkal kepada Allah Ta'ala.

Karena sebelum ada prediksi macam-macam dari dunia kekinian tentang ekonomi dan lain sebagainya, secara Ilahiyah kehidupan setiap Muslim pasti akan berhadapan dengan kesulitan berupa; sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS: al-Baqarah [2]: 155).

Dengan demikian maka, kesulitan atau pun ketakutan akan sesuatu dan kekurangan terhadap sesuatu sudah menjadi bagian dari kehidupan setiap Muslim. Jadi, untuk apa kita ragu, gelisah, bingung dan kalut?

Tetaplah dalam iman dan takwa dengan benar-benar bertawakkal kepada-Nya.

وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

"Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-maidah [5]: 23).

Dalam ayat lain Allah tegaskan,

قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

"Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah [9]: 51).

Kuatkan Keyakinan Kepada Janji Allah

Imam Ghazali dalam kitab terakhirnya, Minhajul Abidin mengutip pernyataan indah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah; "Engkau mencari rizki Allah dari sisi selain-Nya. Engkau merasa itu akan membuatmu aman dari waktu dan kemalangan. Engkau bisa percaya pada jaminan orang lain meski ia kafir, tapi engkau tak percaya dengan jaminan rizki yang diberikan oleh Allah. Engkau nampaknya tidak membaca apa yang tertulis di dalam Kitabullah (mengenai rizki), sehingga imanmu lemah dan goyah (dalam mempercayai janji Allah)."

Dengan kata lain, semakin sulit situasi kehidupan dunia ini maka harusnya semakin mendorong diri untuk lebih giat dalam membaca, mengkaji, mentadabburi, mentafakkuri dan menggali makna-makna penting yang tersembunyi dari setiap barisan ayat-ayat suci-Nya.

Jika tidak, maka kita akan terombang-ambing isu kekinian yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Sementara, kehidupan kita adalah kehidupan yang harus benar, lurus, tegak di atas nilai iman dan Islam dalam situasi dan kondisi apa pun.

Untuk itu, meyakini janji Allah adalah perkara mutlak. Dan, meyakini janji Allah itu mustahil akan semakin terpatri dalam diri kita, bila kita tidak benar-benar 'akrab' dengan al-Qur'an.

Pahamilah, Rizki itu Sudah Ditetapkan

Dalam Minhajul Abidin Imam Ghazali mengutip satu hadits Nabi, "Sudah tertulis di punggung ikan dan banteng tentang rizki si fulan. Maka orang yang tamak tidak akan mendapatkan tambahan selain kepayahannya."

Hadits ini memberikan petunjuk bahwa setiap Muslim jangan terjebak bujuk rayu nafsu dan setan. Rizki itu sifatnya pasti, selama ada kehidupan maka pasti ada rizki. Tamak alias rakus hanya akan menghasilkan kepayahan.

Lihatlah ke penjara, betapa mereka yang dulu tersenyum karena bisa korupsi, kini menangis dan bersedih hati. Sekiranya mereka jujur, tentu tidak perlu menghabiskan masa tuanya dalam penjara. Semua itu adalah bukti bahwa rakus hanya akan membawa pelakunya pada penderitaan.

Bahkan, Imam Ghazali menyampaikan nasehat gurunya, "Sesungguhnya apa yang ditakdirkan sebagai makanan yang engkau kunyah, maka tidak akan dikunyah oleh orang lain. Maka, makanlah bagian rizkimu itu dengan mulia, jangan engkau memakannya dengan hina."

Jadi, mari siapkan diri dan keluarga kita untuk semakin dekat kepada Al-Qur'an, sehingga semakin kuat iman dan takwa kita kepada-Nya, semakin kokoh ketawakkalan kita kepada-Nya. Karena hanya dengan itulah, kita akan semakin percaya diri menjadi Muslim.

Semakin sulit kehidupan dunia harus mengantarkan kita dan keluarga untuk semakin yakin kepada janji Allah, termasuk soal rizki. Karena hakikat hidup ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya (QS. 51: 56).

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Apa pun yang terjadi, suka atau duka, hakikatnya satu, yakni hanya ujian. Maka tetaplah dalam keyakinan penuh atas segala janji Allah dengan tetap melakukan amal-amal yang terbaik di sisi-Nya.*


http://www.hidayatullah.com/read/2014/01/03/14218/muslim-sejati-tak-ragu-soal-rizki.html