Selasa, 13 Mei 2014

Untuk Apa Kita Ada?

Kalau direnungi secara dalam, seorang
manusia hadir di dunia benar-benar hanya
sesaat saja, seperti sekejab mata jika di
bandingkan dengan usia bumi yang sudah
sangat tua. Ibarat matahari yang nampak
terlihat, terbit dan tenggelam begitu lah
perjalanan hidup manusia di dunia ini. Yang
membedakannya, matahari terbit dan
tenggelam kemudian terbit lagi dan
tenggelam lagi dan seterusnya, sementara
seorang manusia terbit dan tenggelam,
kemudian tidak akan pernah terbit lagi untuk
selamanya.

Kehidupan yang sesaat diberikan oleh Tuhan
kepada manusia tidak lain agar manusia bisa
memberikan pengabdian terbaik kepada-Nya,
kepada sesama manusia dan seluruh alam
sehingga manusia tersebut benar-benar
menjadi orang yang bermanfaat. Sebagian
lahir dengan mengikuti kodrat alamiah
manusia sebagai pengabdi untuk membuat
kehidupan di bumi menjadi lebih baik.

Sementara sebagian manusia hidup di dunia
ini dalam kondisi tidak kreatif, lahir menjalani
kehidupan, kemudian meninggal dunia,
berlalu seperti debu yang tertiup angin di
musim panas. Kehadiran dan
ketidakhadirannya di dunia tidak memberikan
pengaruh apa-apa, dan inilah kebanyakan
manusia.

Ada juga manusia yang hadir di dunia ini
memberikan warna hitam, kehadirannya
mempersuram kehidupan di muka bumi
dengan berbagai kerusakan yang
dilakukannya. Setelah dia berlalu sesuai
dengan umur yang diberikan Tuhan, dia
kemudian meninggalkan warisan hidup
berupa kekacauan dan ketidakserasian.

Tentang hal ini, saya teringat pertanyaan Guru
kepada saya, "Untuk apa Tuhan menciptakan
daun jelatang?". Jelatang adalah salah satu
jenis semak yang batang dan daunnya sangat
gatal bila disentuh. Jelatang sepintas lalu
tidak bisa dimanfaatkan untuk apapun oleh
manusia, hanya mengganggu saja. Saya tidak
bisa menjawab pertanyaan Guru tentang
jelatang tersebut dan kemudian Beliau
menjawab sendiri, "Untuk meramai-ramaikan
dunia".

Jadi kehadiran Jelatang di muka bumi ini
hanya untuk membuat bumi menjadi ramai,
tidaka lebih dan tidak kurang. Lalu bagaimana
kehadiran kita di dunia yang fana ini? Apa
sama dengan Jelatang?

Tuhan menciptakan rumput untuk dimakan
kambing, Tuhan menciptakan kambing untuk
dimakan manusia, Tuhan menciptakan
manusia untuk?

Tuhan menciptakan plankton untuk di makan
ikan, Tuhan menciptakan ikan untuk dimakan
manusia, Tuhan mencipakan manusia untuk?

Kalau kita tidak mengetahui untuk apa tujuan
Tuhan menciptakan manusia, berarti
kehadiran kita di dunia ini sama dengan
kehadirat ikan, rumput, kambing dan lain-lain,
hanya sebagai pelengkap agar dunia ini
menjadi ramai.

Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan
yang sangat istimewa, untuk mengabdi
kepada-Nya lewat ibadah dan lewat aktifitas
sehari-hari yang bisa memberikan manfaat
kepada semua. Nabi juga pernah memberikan
nasehat tentang hal ini dimana manusia
terbaik menurut Beliau adalah manusia yang
paling bermanfaat untuk sesama.

Semakin memberikan manfaat kepada
sesama, maka semakin baik nilai manusia
dimata Allah dan Rasul-Nya. Atas dasar itu,
harapan Nabi kepada Ummatnya agar dalam
kehidupan yang dijalani hendaknya bisa
menjadi rahmat bagi keluarga, lingkungan
dan bisa menjadi rahmat bagi seluruh Alam.

Dalam kehidupan yang sangat singkat ini,
mari kita renungkan dalam-dalam tentang
apa yang telah kita lakukan di dunia ini,
apakah telah sesuai dengan tujuan
penciptaan sebagai pengabdi yang
memberikan manfaat untuk semua atau
keluar dan tujuan tersebut, memberikan
kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan
manusia dan makhluk lain.

Semoga kita termasuk jenis manusia yang
kehadiran kita di dunia dalam waktu singkat
bisa memberikan warna indah bagi dunia dan
isinya sehingga ketika kita kembali kehadirat-Nya akan disambut oleh Allah dengan penuh
kerinduan, karena kita telah menyelesaikan
tugas-Nya sebagai penyebar kebaikan di
muka bumi.

Amin ya Rabbal 'Alamin

http://sufimuda.net/2014/05/13/untuk-apa-kita-ada/

Kamis, 08 Mei 2014

Cermin

Dalam masyarakat, terkenal dengan
pepatah, "Rupa buruk cermin dibelah"
yang bermakna sudah menjadi kebiasaan setiap kesalahan atau kekurangan diri, kita cenderung mencari alasan dengan menyalahkan orang lain disekitar kita. Kita cenderung menyalahkan lingkungan yang
tidak lain adalah cermin bagi diri kita
sendri.

Apabila engkau melihat aib (kesalahan)
pada diri orang lain, maka ucapkanlah dalam diri, "Sungguh, aib itu ada pada diriku. Karena seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lainnya. Yang dilihat seseorang pada cermin hanyalah bayangan dirinya sendiri" demikian nasehat dari Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi yang layak untuk direnungi.

Kalau lingkungan, teman-teman, orang
yang kita kenal dan alam ini adalah cermin bagi diri sendiri, maka apapun yang kita lihat adalah diri kita sendiri. Kalau kita mengatakan orang lain sombong maka seharusnya kita
menyadari bahwa itulah cermin diri kita
yang masih menyimpan perasaan sombong. Kalau kita mengatakan orang lain penipu, pencuri, dan sekian banyak kesalahan tidakkah kita sadari kalau itu adalah cermin dari diri kita sendiri? Bukanlah itu adalah diri kita sendiri
yang terlihat pada sebuah cermin?

Sudah menjadi hukum alam bahwa
segala sesuatu di dunia ini tersusun dengan demikian rapi. Ada hukum yang tidak tertulis di alam ini yaitu hukum Ketertarikan (Law Attraction) di mana benda yang sejenis dan segelombang akan menarik benda yang sama pula. Tidak mungkin kambing berkawan
dengan harimau atau ayam berkawan
dengan musang, masing-masing akan
bersahabat dan dekat dengan yang sejenis. Penipu akan berkawan dengan penipu dan orang jahat akan dekat dan menarik orang jahat yang sejenis untuk dekat dengannya.

Kalau suatu saat anda diperlakukan tidak
adil, ditipu misalnya, biasanya kita lebih
senang menyalahkan orang yang menipu kita daripada kita merenung dan menanyakan dalam diri kita, magnet apa yang menyebabkan kita menarik si penipu tersebut sehingga bisa bersentuhan dengan kita?

Di dalam Terekat, Zikir adalah benteng
yang melindungi pengamalnya dari godaan-godaan atau serangan-serangan yang membuat diri menjadi kacau dan
mengikuti gelombang yang sesat tersebut. Ketika ada yang berani "menyerang" kita, apakah dalam
bentuk penipuan, mendapat kata-kata
kasar atau perlakukan tidak menyenangkan lainnya berarti pertahanan kita telah bobol dan pos-pos yang seharusnya di isi dengan Dzikir
telah kosong sehingga bisa ditembus
oleh musuh.

"Hanya Wali yang Kenal dengan Wali"
demikian prinsip yang pernah kita ketahui dalam dunia tasawuf. Artinya seorang Kekasih Allah hanya bisa dikenali oleh orang yang segelombang. Ketika dalam diri kita masih membawa gelombang yang berbeda maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa berkenalan apalagi berdekatan
dengan Wali Allah.

Jadi, cara terbaik untuk memperbaiki
hidup agar lebih berkualitas adalah dengan banyak bercermin dan merenungi diri sendiri. Menumpahkan kesalahan kepada orang lain hanya akan membuat kita senang sesaat akan tetapi dalam jangka panjang akan mendatangkan masalah yang jauh lebih
besar karena sudah menjadi hukum di alam ketika kita mengeluarkan energi negatif maka energi tersebut akan berlipat ganda dan akan kembali kepada kita. Kalau anda mencaci maki dan membuka aib (kesalahan) orang lain
maka tunggulah sudah menjadi hukum
pasti caci maki akan kembali kepada anda dan aib anda akan diketahui oleh orang lain dalam skala yang lebih luas.

Mari kita banyak bercermin kepada
lingkungan sekitar untuk memperbaiki
diri sendiri. Menutup tulisan ini saya
mengutip sebuah syair dari seorang penyair sufi Hamzah Fanshuri, "Kembalilah menjadi diri agar engkau lebih berarti". Wallahu'alam Bishawab.

Ketika Ditimpa Musibah (2)

Bagi orang beragama, cara terbaik yang harus
dilakukan ialah kembali kepada Tuhan. Kita
harus yakin, sebesar apa pun sebuah problem
pasti masih di ambang batas kemampuan
hamba-Nya.

Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, tidak
mungkin membebani sesuatu di luar batas
kemampuan dan daya dukung hamba-Nya.
"Allah tidak akan membebani hamba-Nya
melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS
al-Baqarah [2]: 286).

Dalam perspektif tasawuf, musibah atau
kekecewaan hidup adalah salah satu wujud
"surat cinta" Tuhan kepada hamba-Nya.
Mungkin Tuhan merindukan hamba-Nya, tetapi
yang bersangkutan terkecoh dan tersesat
dengan kesenangan duniawi.

Akhirnya, Tuhan mengutus musibah atau
kekecewaan kepadanya dan ternyata ia secara
efektif kembali kepada Tuhannya.

Seseorang yang hidup di dalam kemewahanan
atau dalam kondisi berkecukupan sering kali
lebih sulit untuk melakukan pendakian (taraqqi)
kepada Tuhannya karena semua kebutuhannya
terpenuhi.

Kiat menyikapi musibah, kita harus tawakal,
menyerahkan diri secara total dan sepenuhnya
kepada Allah SWT. Allah SWT sedang mencintai
hamba-Nya dan ingin menyelamatkannya dari
siksaan lebih pedih dan lama.

Nabi pernah bersabda: "Tidaklah seorang
Muslim ditimpa musibah, kedukaan, penyakit,
kesulitan hidup, kesengsaraan, hingga semisal
duri yang menusuk kakinya, melainkan itu
semua berfungsi sebagai pencuci dosa masa
lampau." (Muttafaq Alaih).

Dalam kesempatan lain, Rasulullah menegaskan
dalam hadis dari Anas RA yang diriwayatkan
Turmudzi: "Jika Allah SWT menghendaki
kebaikan kepada hamba-Nya maka Ia
menyegerakan siksaan-Nya (di dunia) dan jika
Allah SWT menghendaki sebaliknya kepada
hamba-Nya maka Ia menunda siksaan-Nya di
hari kiamat."

Musibah dan kekecewaan tidak mesti diratapi
terlalu lama. Sering kali kita harus bersyukur
bahwa musibah memang membawa
kekecewaan hidup, tetapi pada saat bersamaan
kita bisa merasakan adanya kedekatan khusus
diri kita dengan Tuhan.

Sering kali justru rasa kedekatan itu lebih
menonjol ketimbang rasa kekecewaan itu. Ini
artinya, musibah membawa nikmat dan betul-betul musibah terasa sebagai "surat cinta"
Tuhan kepada kekasih-Nya.

http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/05/08/n58gec-belajar-dari-suasana-batin-ketika-ditimpa-musibah-2

Minggu, 27 April 2014

MARHABAN YA RAMADHAN

MARHABAN YA RAMADHAN

Sekarang kita telah tiba di penghujung bulan
Sya'ban, beberapa hari lagi kita akan memasuki
bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah,
rahmah dan karunia Allah SWT. Dalam bulan
Ramadhan kepada kita diberikan kesempatan
oleh Allah SWT untuk bertobat, memperbanyak
amalan untuk menutupi kekurangan amal ibadah
kita selama bulan-bulan sebelumnya.

Nabi SAW memberi kabar gembira mengenai
bulan suci ini. Sepertiga pertama dari bulan suci
Ramadan adalah sepuluh hari yang penuh
rahmat bagi seluruh manusia, sepuluh hari
keduanya adalah hari-hari yang penuh
pengampunan dari Allah SWT, dan sepertiga
bagian terakhir adalah pembebasan dari Neraka
bagi orang-orang yang beriman, Allah SWT
membebaskan mereka dari Neraka. Oleh sebab
itu, orang-orang beriman yang berusaha menjaga
perintah Tuhan mereka di siang hari selama
bulan Ramadan yang penuh berkah dengan
puasa dan malam hari dengan salat tarawih dan
tahajjud akan diganjar oleh Tuhan kita dengan
memberi mereka pembebasan dan keamanan
(bara`ah) dari Neraka, dan mereka telah diberi
kabar gembira tentang Surga

Menahan lapar dan dahaga di siang hari selama
bulan Ramadhan adalah sebagai media untuk
melatih kepekaan sosial, ikut merasakan
penderitaan saudara-saudara kita yang hidup
dibawah garis kemiskinan, fakir miskin, anak-anak terlantar yang sering mengalami kelaparan.
Melaksanakan puasa ditinjau dari ilmu medis
juga dapat meningkatkan kesehatan kita karena
sumber penyakit berasal dari perut.

Namun yang lebih penting dari itu semua, tujuan
kita berpuasa adalah untuk mensucikan hati
dengan menjaga mata dari melihat maksiat,
menjaga lidah dari perkataan-perkataan kotor
dan sia-sia dan mengekang syahwat kita agar
tidak selalu memperturutkan hawa nafsu.
Mengekang hawa nafsu adalah pekerjaan
teramat berat sehingga Nabi SAW menyebutnya
sebagai "Perang Besar". Mengendalikan nafsu
sebagai latihan spiritual yang dilakukan oleh para
pengamal tasawuf bukan hanya dalam bulan
Ramadhan tetapi juga di bulan-bulan lain
sepanjang tahun untuk menjaga kesucian hati
agar terus menerus menerima cahaya Allah SWT
sebagai sumber kebenaran hakiki.

Salah satu ibadah penting di bulan Ramadhan
sebagai jalan untuk mensucikan hati adalah
melaksanakan 'Iktikaf/Suluk sebagaimana yang
dipraktekkan oleh Rasulullah SAW.

Dari Aisyah r.a., dia berkata,"Adalah Nabi SAW
melaksanakan Iktikaf dalam sepuluh hari akhir
Ramadhan, lalu saya buatkan kelambu untuk
Beliau, lalu Rasul shalat subuh, kemudian Rasul
memasukinya", (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud
dan Ibnu Majah)

Keutamaan Ramadhan

1. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya
ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu
di bulan lain. Barangsiapa memperbanyak
shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan
memberatkan timbangannya pada hari ketika
timbangan meringan. Barangsiapa di bulan
ini membaca satu ayat Al-Quran,
ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

2. "Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan
sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan
itu adalah bulan memberi pertolongan (
syahrul muwasah ) dan bulan Allah
memberikan rizqi kepada mukmin di
dalamnya."

3. Barangsiapa memberikan makanan berbuka
seseorang yang berpuasa, adalah yang
demikian itu merupakan pengampunan bagi
dosanya dan kemerdekaan dirinya dari
neraka. Orang yang memberikan makanan itu
memperoleh pahala seperti orang yang
berpuasa tanpa sedikitpun berkuran. Para
sahabat berkata, "Ya Rasulullah, tidaklah
semua kami memiliki makanan berbuka
puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka
bersabdalah Rasulullah saw, "Allah
memberikan pahala kepada orang yang
memberi sebutir kurma, atau seteguk air,
atau sehirup susu."

4. Dialah bulan yang permulaannya rahmat,
pertengahannya ampunan dan akhirnya
pembebasan dari neraka. Barangsiapa
meringankan beban dari budak sahaya
(termasuk di sini para pembantu rumah)
niscaya Allah mengampuni dosanya dan
memerdekakannya dari neraka

5. Nabi Bersabda : "Barangsiapa memberi minum
kepada orang yang berbuka puasa, niscaya
Allah memberi minum kepadanya dari air
kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia
tidak merasakan haus lagi sesudahnya,
sehingga dia masuk ke dalam surga." (HR.
Ibnu Huzaimah)

6. Diriwayatkan dari Ubadah bin ash-Shamit
bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Telah
datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan
keberkahan. AIlah mengunjungimu pada
bulan ini dengan menurunkan rahmat,
menghapus dosa-dosa, dan mengabulkan
doa. Allah melihat berlomba-lombanya kamu
pada bulan ini dan membanggakanmu
kepada para malaikat-Nya. Karena itu,
tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik
dari dirimu karena orang yang sengsara ialah
yang tidak mendapatkan rahmat Allah di
bulan ini." (HR ath-Thabrani).

7. Pada awal malam Ramadhan Allah swt
mengampuni semua dosa yang tersembunyi
dan yang terang-terangan, meninggikan
beribu-ribu derajat, membangunkan untuk
kalian lima puluh ribu kota di surga, pada
malam kedua, malam ketiga sampai malam
terakhir diberikan pahala yang berbeda oleh
Allah SWT

Demikian sekilas keutamaan-keutamaan
Ramadhan yang akan diberikan Allah SWT
diantara sekian banyak keutamaan lain sebagai
motivasi agar kita mau memperbanyak ibadah
dibulan yang mulia itu. Namun hendaknya ibadah
kita bukan semata-mata mengharapkan pahala
akan tetapi tidak lain untuk Ridha-Nya
sebagaimana do'a yang selalu kita panjatkan
setelah berzikir, "Ilahi Anta Maqsudi Waridhaka
Matslubi".

Marhaban Ya Ramadhan, selamat datang bulan
paling mulia. Pada kesempatan ini kepada
saudara-saudaraku sekalian saya mengucapkan:

SELAMAT MENJALANKAN IBADAH DI BULAN
SUCI RAMADHAN,
SEMOGA KITA SEMUA DI BERI KESEMPATAN,
KESEHATAN DAN UMUR PANJANG AGAR DAPAT
TERUS MEMUJA NYA
SEMOGA AMAL IBADAH KITA MENDAPAT RIDHO
NYA,
AMIN YA ALLAH
AMIN YA RAHMAN
AMIN YA RAHIM
AMIN YA RABBAL 'ALAMIN

http://sufimuda.net/2008/08/28/marhaban-ya-ramadhan/?relatedposts_hit=1&relatedposts_origin=279&relatedposts_position=0

PUASA DAN BIDADARI

Melaksanakan shalat tarawih malam pertama
Ramadhan sungguh menyenangkan, suasana
ramai dan meriah, orang yang tidak pernah
datang ke mesjid di bulan-bulan sebelumnya
tiba-tiba muncul dengan busana muslim
lengkap dengan peci haji sebagai lambang
kesalehan. Bula Ramadhan seperti tahun-tahun yang lalu berhasil mengajak sebagian
besar kaum muslim di seluruh dunia untuk
memperbanyak ibadah, mengisi kekurangan
selama bulan-bulan yang lain, dengan
harapan menjadi orang yang Taqwa
sebagaimana ayat (Al-Baqarah, 183) yang
sering di baca oleh Imam atau Penceramah,
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu ber puasa sebagaimana Telah
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertaqwa"

Semalam penceramah menceritakan tentang
pahala ibadah di bulan Ramadhan, imbalan
berlipat ganda, dia ceritakan pahala malam
pertama sampai malam ke-30, sekalian
dihitung jumlah shalat wajib dikalikan 70 dan
shalat sunnat di hitung sebagai shalat wajib.
Angka yang keluar luar biasa! Saya jadi heran,
ini ustad penceramah atau guru matematika
ya?

Apa memang tujuan puasa untuk
mengharapkan imbalan semata-mata?
Mengharapkan pahala? Bukankah setiap
ibadah dilakukan dengan ikhlas tanpa
mengharapkan imbalan apa-apa selain karena
Allah semata-mata.

Siang kemarin saya singgah disebuah mesjid
untuk shalat dhuhur berjama'ah, setelah
selesai shalat diadakan ceramah oleh
sekelompok orang berjubah putih dan
berjanggut. Pimpinan mereka memberikan
pengumuman kepada seluruh jamaah mesjid:
"mari merapat, mari membuat lingkaran, kita
mengikuti sunnah nabi, zaman Rasulullah SAW
ketika Beliau ceramah seluruh sahabat
mengelilingi Beliau". Saya ikut merapat dalam
lingkaran tersebut. Ceramahnya dimulai
dengan puji-pujian kepada Allah SWT
kemudian shalawat kepada Nabi, kemudian
diteruskan dengan kata-kata dalam bahasa
Arab sampai 15 menit lamanya, saya jadi
bingung, ini mau ceramah biasa atau khutbah
Jum'at ya? Tiba-tiba penceramah tadi
mengakhiri ceramahnya dengan
"wasalammu'alaikum wr.wb". Kemudian
disambung oleh penceramah kedua, mirip
juga dengan penceramah pertama, Cuma yang
ini dilanjutkan dengan bahasa Indonesia.

Penceramah kedua menceritakan pahala
puasa, pahala jihad dan berbagai pahala
lainnya, pokoknya semua tentang pahala. Juga
diceritakan tentang bidadari di surga. Topik
tentang bidadari ini yang mengganggu pikiran
saya karena penceramah menceritakan
tentang bidadari lengkap sekali, mulai
keindahan tubuhnya sampai bagaimana para
bidadari itu nanti menyambut suami nya,
yaitu orang yang mendapat pahala surga.
Cerita tentang keindahan bidadari ini dikemas
sedemikian rupa sehingga hampir mendekati
cerita-cerita romantis yang bisa merangsang
pendengarnya.

Saya jadi tertegun, kalau model begini
ceramahnya bukan hikmah yang didapat tapi
bisa membatalkan puasa karena bisa
menimbulkan rangsangan serta bisa
membuat orang menghayal tentang wanita
cantik. Ketika ceramah berakhir dan jamaah
bubar, saya melihat sekelompok anak muda
berumur sekitar 17-an keluar mesjid dengan
wajah yang memerah dan ceria. Saya dekati
mereka: "dik, ceramah tentang bidadari tadi
keren ya?", "keren kali bang, mudah-mudahan saya dapat pacar seperti itu"
jawabnya sambil tertawa, teman-teman dia
yang lain juga ikut tertawa. Mudah-mudahan
saja pulang dari mesjid anak muda ini tidak
kawin dengan syetan, ber onani sambil
membayangkan wanita secantik bidadari.

Mengharapkan surga dengan segala
kenikmatannya merupakan hal yang wajar,
akan tetapi kita harus hati-hati karena bisa
mengurangi keikhlasan kita dalam beribadah.
Penceramah tidak menceritakan bahwa
kenikmatan tertinggi di dalam surga kelak
adalah memandang wajah Allah bukan
menggauli bidadari. Penceramah lupa
menceritakan bagaimana kedudukan wanita
di surga, kalau satu orang pria mendapat
ribuan bidadari apakah wanita dapat ribuan
suami juga??

Bagi saya ibadah tidak lain untuk
mengharapkan ridho Allah semata. Saya
selalu bersyukur kehadirat-Nya karena di
dunia ini telah diberi kesempatan untuk
memandang wajah-Nya sebagai kenikmatan
luar biasa yang dijanjikan kelak di akhirat
kepada penduduk surga. Saya tidak lagi
mengharapkan surga beserta ribuan bidadari
nya. Allah telah memberikan wajah-Nya
untuk saya pandang disetiap zikir dikala
malam telah larut untuk mengobati rasa rindu
yang menyesakkan dada. Dia selalu hadir
dalam mimpi-mimpi saya, dalam setiap
hembusan nafas dan setiap derap langkah
dalam menapaki hidup di dunia ini. Allah
juga menganugerahkan saya seorang wanita
sebagai istri, bagi saya dialah bidadari yang
dijanjikan itu dan saya selalu mensyukuri atas
segala karunia-Nya. Wallahu'alam!

http://sufimuda.net/2008/09/03/puasa-dan-bidadari/?relatedposts_hit=1&relatedposts_origin=1954&relatedposts_position=0

Cermin

rmin?

Dalam masyarakat kita terkenal dengan
pepatah, "Rupa buruk cermin dibelah" yang
bermakna sudah menjadi kebiasaan setiap
kesalahan atau kekurangan diri, kita
cenderung mencari alasan dengan
menyalahkan orang lain disekitar kita. Kita
cenderung menyalahkan lingkungan yang
tidak lain adalah cermin bagi diri kita sendri.

Apabila engkau melihat aib (kesalahan) pada
diri orang lain, maka ucapkanlah dalam diri,
"Sungguh, aib itu ada pada diriku. Karena
seorang muslim adalah cermin bagi muslim
yang lainnya. Yang dilihat seseorang pada
cermin hanyalah bayangan dirinya sendiri"
demikian nasehat dari Syekh Muhammad
Amin Al-Kurdi yang layak untuk direnungi.

Kalau lingkungan, teman-teman, orang yang
kita kenal dan alam ini adalah cermin bagi diri
sendiri, maka apapun yang kita lihat adalah
diri kita sendiri. Kalau kita mengatakan orang
lain sombong maka seharusnya kita
menyadari bahwa itulah cermin diri kita yang
masih menyimpan perasaan sombong. Kalau
kita mengatakan orang lain penipu, pencuri
dan sekian banyak kesalahan tidakkah kita
sadari kalau itu adalah cermin dari diri kita
sendiri? Bukanlah itu adalah diri kita sendiri
yang terlihat pada sebuah cermin?

Sudah menjadi hukum alam bahwa segala
sesuatu di dunia ini tersusun dengan
demikian rapi. Ada hukum yang tidak tertulis
di alam ini yaitu hukum Ketertarikan (Law
Attraction) di mana benda yang sejenis dan
segelombang akan menarik benda yang sama
pula. Tidak mungkin kambing berkawan
dengan harimau atau ayam berkawan dengan
musang, masing-masing akan bersahabat
dan dekat dengan yang sejenis. Penipu akan
berkawan dengan penipu dan orang jahat
akan dekat dan menarik orang jahat yang
sejenis untuk dekat dengannya.

Kalau suatu saat anda diperlakukan tidak adil,
ditipu misalnya, biasanya kita lebih senang
menyalahkan orang yang menipu kita
daripada kita merenung dan menanyakan
dalam diri kita, magnet apa yang
menyebabkan kita menarik si penipu tersebut
sehingga bisa bersentuhan dengan kita?

Di dalam Terekat, Zikir adalah benteng yang
melindungi pengamalnya dari godaan-godaan atau serangan-serangan yang
membuat diri menjadi kacau dan mengikuti
gelombang yang sesat tersebut. Ketika ada
yang berani "menyerang" kita, apakah dalam
bentuk penipuan, mendapat kata-kata kasar
atau perlakukan tidak menyenangkan lainnya
berarti pertahanan kita telah bobol dan pos-pos yang seharusnya di isi dengan Dzikir
telah kosong sehingga bisa ditembus oleh
musuh.

"Hanya Wali yang Kenal dengan Wali"
demikian prinsip yang pernah kita ketahui
dalam dunia tasawuf. Artinya seorang
Kekasih Allah hanya bisa dikenali oleh orang
yang segelombang. Ketika dalam diri kita
masih membawa gelombang yang berbeda
maka sampai kapan pun kita tidak akan
pernah bisa berkenalan apalagi berdekatan
dengan Wali Allah.

Jadi, cara terbaik untuk memperbaiki hidup
agar lebih berkualitas adalah dengan banyak
bercermin dan merenungi diri sendiri.
Menumpahkan kesalahan kepada orang lain
hanya akan membuat kita senang sesaat
akan tetapi dalam jangka panjang akan
mendatangkan masalah yang jauh lebih besar
karena sudah menjadi hukum di alam ketika
kita mengeluarkan energi negatif maka energi
tersebut akan berlipat ganda dan akan
kembali kepada kita. Kalau anda mencaci
maki dan membuka aib (kesalahan) orang lain
maka tunggulah sudah menjadi hukum pasti
caci maki akan kembali kepada anda dan aib
anda akan diketahui oleh orang lain dalam
skala yang lebih luas.

Mari kita banyak bercermin kepada
lingkungan sekitar untuk memperbaiki diri
sendiri. Menutup tulisan ini saya mengutip
sebuah syair dari seorang penyair sufi
Hamzah Fanshuri, "Kembalilah menjadi diri
agar engkau lebih berarti". Wallahu'alam
Bishawab.

http://sufimuda.net/2012/10/07/cermin/?relatedposts_hit=1&relatedposts_origin=1922&relatedposts_position=1

Agama adalah Cinta

Jika agama dengan segala kelengkapannya
ingin di wakili dalam sebuah kata, maka kata
yang paling tepat untuk mewakilinya adalah
CINTA. Cinta kepada Allah, cinta kepada
Rasul, Cinta kepada saudara seiman dan cinta
kepada semuanya. Cinta kepada Allah akan
menimbulkan gairah kepada kita untuk
melakukan pengabdian sepenuh hati kepada
Allah dengan ikhlas tanpa pamrih.

Apa yang membuat Rasul begitu tabah dalam
menyampaikan kebenaran, mengajak dan
membimbing manusia untuk mengenal Allah,
melewati masa-masa berat berupa penolakan
dari orang-orang yang dekat dengan Beliau,
sanak saudara dan teman-teman Beliau,
karena rasa Cinta Rasul yang begitu besar
kepada Allah SWT. Cinta tanpa syarat,
mengalir begitu indah dalam darah dan setiap
detak jantung Nabi.

Rasa cinta yang mendalam kepada Allah,
kemudian melimpah dan mengalir dalam
bentuk cinta kepada Agama, para sahabat
dan seluruh ummat Beliau. Nabi tidak
mengharapkan apa-apa, asal Beliau bisa
berbuat untuk menyenangkan SANG PUJAAN
HATI, itu sudah merupakan kebahagiaan
tertinggi bagi Beliau.

Apa yang membuat Nabi sebagai manusia
mulia dan terjamin masuk surga bahkan bisa
memberikan syafaat kepada seluruh ummat
manusia begitu tekun beribadah? Karena
Rasa cinta yang begitu besar terhadap Allah.
Ibadah bagi Nabi bukanlah untuk sekedar
memenuhi kewajiban.

Meneladani Rasul, selayaknya kita juga
beribadah kepada Allah atas dasar Cinta,
sehingga tidak terlintas dalam pikiran imbalan
atas ibadah yang kita lakukan, layaknya
seorang pedagang atau ibadah yang
dilakukan atas dasar rasa takut seperti
layaknya seorang budak.

Semoga Allah selalu menuntun dan
membimbing kita kepada jalan-Nya yang
lurus dan benar, Jalan-Nya yang penuh
dengan Rahmat Karunia, Cinta dan Kasih
Sayang, amin..

http://sufimuda.net/2014/04/27/agama-adalah-cinta/

Sabtu, 26 April 2014

Makna Sosial As-Shirath Al-Mustaqim

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Jalan hidup lurus penuh kenikmatan.

"Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat
kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat." (QS al-Fatihah [1]: 6-7)

Doa yang paling sering terucap setiap hari ialah
doa memohon petunjuk agar kita menemukan
jalan luas lagi lurus, as-shirath al-mustaqim,
sebagaimana diungkapkan dalam surah al-Fatihah ayat 6-7 seperti tersebut di atas.

Tiada rakaat shalat tanpa terucap doa itu.
Bayangkan jika kita shalat berkali-kali dalam
sehari, maka sebanyak itu kita melafalkan doa
tersebut.

Kata as-shirath al-mustaqim sesungguhnya
tidak lain ialah jalan lurus dan lapang, jalan
kebenaran sebagaimana dituntunkan di dalam
ajaran dalam Islam.

Jalannya orang-orang yang sukses di dalam
menjalani kehidupan, seperti yang dijalani para
nabi, para kekasih, dan hamba pilihan Tuhan
lainnya. Jalan hidup seperti itulah yang disebut
dengan jalan penuh kenikmatan.

Jalan kehidupan yang penuh kenikmatan ialah
jalan lurus dan datar yang sudah barang tentu
menjanjikan ketenangan bagi para
penempuhnya. Dalam kondisi apa pun ia tetap
stabil.

Jika dikaruniai rezeki yang lapang, dianugerahi
jabatan penting, atau sedang berada di dalam
puncak karier, ia tetap seperti apa adanya
dirinya, seolah tidak ada yang berubah, baik
dalam sikap maupun sifat.

Sebaliknya, jika diuji dengan kekecewaan,
penderitaan, musibah, dan penyakit, ia tetap
seperti apa adanya, tidak menunjukkan
kekecewaan dan perubahan berarti di dalam
hidupnya. Mereka ini dapat disebut penempuh
kenikmatan jalan hidup (an'amta 'alaihim).

Kebalikannya ialah jalan yang tidak stabil,
fluktuatif, turun-naik, dan berkelok-kelok, yang
sudah barang tentu sarat dengan guncangan.
Jalan hidup yang fluktuatif itu disimbolkan
dengan orang-orang yang tidak memiliki
konsistensi (istiqamah) di dalam menjalani
kehidupan.

Jika memperoleh kelapangan rezeki,
dipromosikan menduduki jabatan penting, atau
sedang berada di dalam puncak popularitas,
maka ia lupa diri, mabuk, angkuh, dan sombong.
Sifat-sifat ini tentu sangat tercela, bukan hanya
di mata manusia tetapi juga di mata Allah SWT.
Karena itu, penempuh jalan seperti ini disebut
orang-orang dimurkai (al-maghdhub).

Jalan hidup fluktuatif juga bisa di dalam bentuk
seseorang menjatuhkan diri ke dalam
keputusasaan, bahkan dengan membinasakan
dirinya sendiri pada saat dilanda kekecewaan.

Misalnya ketika ia kecewa dengan
pengangguran yang dialaminya, dibakar oleh api
cemburu, atau merasa tersiksa dengan penyakit
kronis yang dideritanya. Orang-orang seperti ini
seperti tidak lagi menemukan cahaya kehidupan.
Ia menatap jalan hidupnya dengan penuh
kegelapan. Orang-orang seperti ini bisa disebut
penempuh jalan sesat (ad-dhallin).

http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/04/26/n4mtoa-makna-sosial-asshirath-almustaqim

Selasa, 22 April 2014

Kang Lihin masih menunggu Anda untuk bergabung di Twitter...

 
Top corners image
     
 
   
 
 
 

Kang Lihin masih menunggu Anda untuk bergabung di Twitter...

 
 
Terima undangan
 
     

Minggu, 20 April 2014

Amin Sholihin menambahkan Anda ke lingkarannya dan mengundang Anda untuk bergabung dengan Google+

Amin Sholihin menambahkan Anda ke lingkarannya dan mengundang Anda untuk bergabung dengan Google+.
Gabung dengan Google+
Google+ menjadikan berbagi di web semakin menyerupai berbagi di kehidupan nyata.
Lingkaran
Cara mudah untuk berbagi beberapa hal dengan teman kuliah, hal yang lain dengan orang tua, dan tidak berbagi apa-apa dengan atasan. Seperti halnya di kehidupan nyata.
Hangouts
Percakapan lebih baik dilakukan sambil bertatap muka. Gabung dengan Hangout video dari komputer atau ponsel Anda untuk bersosialisasi, menonton video YouTube bersama, atau bertukar cerita dengan maksimal 9 teman sekaligus.
Mobile
Chatting berkelompok secepat kilat. Foto yang diupload otomatis. Tampilan yang merangkum hal-hal yang terjadi di sekitar. Kami membuat Google+ dengan mempertimbangkan perangkat mobile.
Anda menerima pesan ini karena Amin Sholihin mengundang wasiattakwa.1234@blogger.com untuk bergabung dengan Google+. Berhenti berlangganan email ini.
Google Inc., 1600 Amphitheatre Pkwy, Mountain View, CA 94043 USA

Mencintai Buku

REPUBLIKA - Tgh Habib Ziadi

Generasi salafus shalih pernah menguasai dunia berkat keimanan mereka yang kokoh bagai gunung dan keilmuan mereka yang mendalam bagai lautan. Kecintaan mereka pada iman, ilmu, dan amal melebihi cinta manusia biasa pada harta, anak, dan istri.

Dalam konteks kecintaan terhadap ilmu, Imam Ibnu Qayyim menyatakan, "Adapun pecinta ilmu, kecintaannya pada ilmu melebihi kecintaan seseorang kepada kekasih. Dan banyak di antara mereka tidak tergoda melihat manusia tercantik di dunia sekalipun."

Simak pula Muhammad bin Marwan Ad-Dimasyqi, "Sungguh, aku lebih memilih ditemani tinta sepanjang hari daripada seorang kawan. Aku lebih suka seikat kertas daripada sekarung tepung. Tamparan ulama di pipiku lebih terasa nikmat daripada minuman lezat."

Seseorang tidak bisa menjadi pecinta ilmu sebelum buku/kitabnya lebih berharga daripada bajunya. Konon ada orang melihat seseorang duduk di atas kitabnya, lalu dia ditegur, "Apakah pakaianmu lebih berharga bagimu dibanding kitabmu?"

Hal itu karena orang tersebut duduk beralaskan kitabnya agar pakaiannya tidak terkena debu. Salah satu tanda cinta ilmu adalah menangis ketika kehilangan seorang syaikh yang mulia dan sedih ketika kehilangan buku berharga.

Diriwayatkan, Abul Hasan Al-Fali (w 448 H), salah seorang ahli nahwu dari Baghdad, Irak pernah memiliki kitab Al-Jamharah karya Ibnu Duraid yang sangat bagus. 

Akibat terdesak oleh kebutuhan, ia terpaksa menjual kitab tersebut seharga 60 dinar. Kehilangan kitab itu membuatnya berduka hingga kematian menjemputnya.

Menurut Al-Jahidz, orang yang belanjanya untuk membeli buku tidak lebih nikmat daripada belanjanya pecinta biduan dan penggila bangunan, maka ia tidak akan sampai pada tingkat ilmu yang memuaskan.

Orang tersebut tidak akan memperoleh manfaat dari belanjanya sampai ia mau memprioritaskan pembelian buku sebagaimana orang badui memprioritaskan kudanya untuk diberi susu daripada keluarganya.

Selain itu, ia mau menaruh harapan besar terhadap ilmu sebagaimana orang badui menaruh harapan besar pada kudanya.

Sikap Al-Jahidz sangat mendasar.  Pecinta ilmu akan memprioritaskan apapun untuk memuaskan dahaga keilmuannya.

Seperti kisah unik seorang syaikh penggila buku yang rela melepas sebagian pakaiannya untuk membeli buku yang dipandangnya berharga. Sebab, pada saat itu ia tidak memiliki uang. Salah satu kisah unik lainnya terkait Imam Ibnu Daqiqil Ied.

Ia antusias mendapati ada yang menjual kitab As-Syarhul Kabir karya Ar-Rafi'i Al-Qazwini sebesar 12 jilid. Ia pun membelinya seharga 1.000 dirham. Karena terlalu asyik menelaah kitab tersebut, ia sampai hanya melakukan shalat fardhu saja.

Kitab itu terbeli bukan berarti karena ia kaya harta. Meskipun menjabat Qadhil Qudhat (hakim agung), ia sering terlilit utang. Hal itu akibat kecintaannya kepada ilmu.

Warisan terbaik kita kepada generasi berikutnya adalah kecintaan kepada ilmu yang dilengkapi referensi yang memadai.

Sebab itulah warisan para nabi dan ulama-ulama terdahulu. Bagian terbaik itu adalah mewarisi buku yang melimpah sebagai sarana meraih ilmu.

Sesungguhnya mewariskan buku-buku berikut ilmu yang terkandung di dalamnya dapat memberikan manfaat bagi orang hidup maupun orang mati. Karena anak-anak kita akan membaca dan belajar dari apa yang mereka baca dari buku-buku tersebut.

Sementara kita yang berada di kubur, akan senantiasa mendapatkan kiriman pahala selama mereka memanfaatkan warisan kita dengan baik. Lestarinya pemanfaatan ilmu berupa buku tersebut, lestari pula amal jariah bagi pemiliknya. 

test

test

Jumat, 11 April 2014

Hukum Kekekalan Energi

Hadirin, jamaah Jumat rohimakumullah
Marilah kita panjatkan puji syukur kita kepada Allah, syukur yang dibarengi dengan

Alkisah seorang penjual mentega yang
berpendidikan rendah dan sangat polos,
sering menjual menteganya ke tukang roti.
Suatu hari, tukang roti ini ingin mencoba
menimbang mentega yang telah dibeli
sejumlah satu kilogram untuk mengecek
apakah benar si penjual mentega
memberikan dengan jumlah yang tepat.
Ternyata ia menemukan jumlahnya kurang
dari satu kilogram dan membuat tukang roti
sangat marah sehingga membawa si
penjual mentega menghadap ke hadapan
hakim di pengadilan.

Hakim kemudian bertanya bagaimana si
penjual itu mengukur mentega yang
dijualnya. Lalu si penjual mentega
menjawab, “Yang mulia saya ini orang
bodoh dan tidak mengerti banyak hal. Saya
juga sebenarnya tidak mempunyai
timbangan”. Lalu Hakim berkata, “Kalau
begitu, bagaimana engkau menimbang
mentega yang selalu engkau jual kepada
tukang roti ini?” Si penjual mentega
menjawab, “Oh, jauh sebelum tukang roti
membeli mentega dari saya, saya telah
berlangganan membeli sekilo roti dari
tokonya setiap pagi untuk makan kami
sehari-hari. Setiap kali saya membeli roti
sekilo, saya letakkan di atas neraca sebagai
ukuran untuk dapat menjual sekilo mentega
ke tukang roti ini. Jadi, kalau mentega yang
saya jual beratnya kurang dari sekilo berarti
tukang roti sendiri yang sudah menipu saya
sejak awal”.

Dalam ilmu fisika modern, ada sebuah
hukum yang dinamakan hukum kekekalan
energi. Hukum kekekalan energi ini
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
yang bersifat universal yakni berlaku baik
pada makrokosmos, alam semesta maupun
mikrokosmos, kita sebagai manusia. Pada
manusia, hukum ini mempunyai rumusan
sederhana begini: nilai energi yang kita
keluarkan pasti sama dengan nilai energi
yang akan kita terima. Dengan kata lain,
setiap energi yang kita keluarkan pasti satu
waktu akan kembali lagi kepada kita dalam
nilai yang seimbang dengan energi yang
telah kita keluarkan.

Secara umum, energi yang kita keluarkan
menuju pada dua titik ekstrem yaitu nilai
kebajikan dan nilai keburukan. Ketika kita
menebarkan energi kebajikan dengan
melakukan kebaikan kepada orang lain,
kebaikan itu pasti akan kembali kepada kita
entah dalam bentuk perhatian,
persahabatan, pertolongan, kasih sayang,
ataupun perasaan bermakna dan kepuasan
jiwa yang mendalam. Semakin besar nilai
kebajikan yang kita berikan kepada sesama,
akan semakin besar pula kebajikan yang
kita peroleh. Di sini, setiap kita menyebarkan
kebajikan kepada orang lain, sejatinya kita
tengah menyebarkan kebajikan yang sama
kepada diri kita sendiri.

Namun prinsip yang sebaliknya juga
berlaku. Ketika kita melakukan keburukan
kepada orang lain, maka keburukan itu akan
kembali kepada kita, entah dalam bentuk
kebencian, kedengkian, keresahan,
permusuhan, perpecahan, atau pun
kesusahan hidup lainnya. Semakin banyak
keburukan yang kita tebarkan, satu waktu
keburukan itu akan menjadi badai kejahatan
yang menyergap diri kita sendiri. Fakta ini
menitahkan ajaran penting bahwa setiap
kejahatan yang kita lakukan kepada orang
lain, hakikatnya kita sedang melakukan
keburukan yang senada kepada diri kita
sendiri.

Ironinya, dalam menjalani roda kehidupan
ini terkadang kita menemukan orang-orang
yang lebih suka menebarkan energi
keburukan dan kejahatan. Tidak jarang kita
berjumpa dengan orang-orang yang lebih
suka menanam bibit-bibit kebencian,
permusuhan, kedengkian, fitnah, dan
hasutan kepada orang lain. Mereka adalah
orang-orang yang paradigma kehidupannya
berpijak di atas fondasi kedengkian dan
menggenggam erat slogan SMS berwajah
negatif: Senang Melihat orang lain Susah
dan Susah Melihat orang lain Senang.

Nah, kisah di atas merupakan sebuah
contoh demonstratif tentang bekerjanya
hukum kekekalan energi: energi keburukan
yang kita keluarkan pasti akan kembali
kepada diri kita lagi, bisa dalam bentuk yang
sama atau bentuk yang berbeda. Di sinilah
kiranya cukup bijak bila kita harus berhati-hati dan menghentikan dengan sekuat
kemampuan kita dalam menebarkan energi
kejahatan kepada sesama. Sebab bila tidak,
seperti tukang roti dalam kisah di atas,
kejahatan itu pasti akan kembali menimpa
kita kembali.

Kamis, 13 Februari 2014

HIDUP INI SINGKAT

SEGALA puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw, keluarga, para sahabat, dan umatnya hingga yaumil akhir.

 

Di dalam al-Quran surat al-Mu’minun 112-114 ada dialog antara Allah SWT dengan orang-orang yang telah meninggal dunia. Allah berfirman,

 

@»s% öNx. óOçFø[Î6s9 Îû ÇÚö F{$# y y tã tûüÏZÅ ÇÊÊËÈ   (#qä9$s% $uZø[Î7s9 $·Böqt ÷rr& uÙ÷èt/ 5Qöqt È@t«ó¡sù tûïÏj !$yèø9$# ÇÊÊÌÈ   @»s% bÎ) óOçFø[Î6©9 wÎ) Wx Î=s% ( öq©9 öNä3¯Rr& óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÊÍÈ  

 

Allah bertanya, "Berapa lama kamu tinggal di bumi?". Mereka menjawab, "Kami tinggal di bumi sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung." Allah berfirman, "Kamu tidak tinggal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui".

 

Hidup ini singkat. Begitu yang kita tangkap dari ayat itu. Jadi, kalau kita mendapatkan kesenangan dunia, itu adalah kesenangan yang sangat singkat. Kalau kita menderita, itupun sebenarnya penderitaan yang teramat singkat. Sekali lagi, hanya sehari atau setengah hari saja, atau lebih singkat lagi. Sama sekali tidak sebanding dengan waktu yang akan kita tempuh nanti di akhirat.

 

Hidup ibarat sebuah perjalanan. Perjalanan membutuhkan bekal. Jika perjalanan kita seminggu, maka paling sedikit kita menyiapkan bekal untuk keperluan selama minggu. Tas yang kita bawa pun berisi pakaian ganti yang harus cukup untuk seminggu. Uang saku juga harus cukup untuk kebutuhan seminggu. Jika kita bepergian selama sebulan tentu bekal dan persiapan kita harus lebih besar lagi.

 

Lalu, apa bekal terbaik untuk perjalanan hidup sesudah mati, sebuah perjalanan abadi, dan tanpa batas waktu? Bagi orang yang menyadari betapa panjangnya perjalanan itu, tentu akan jauh lebih serius mempersiapkannya. Seluruh waktu dan kesempatan hidupnya, dimanfaatkan sepenuhnya untuk mengumpulkan bekal menuju kehidupan yang abadi itu. Ia akan pertaruhkan seluruh hidupnya dan apa pun yang dia miliki untuk mendapatkan kehidupan yang baik sesudah kematiannya.

 

Tentu tidak semua yang kita miliki kita bawa. Kita harus pandai-pandai memilih yang bermanfaat. Segala sesuatu yang tidak berguna hanya akan memperberat perjalanan. Di antara bekal yang harus kita bawa, yang tidak boleh tertinggal dalam perjalanan hidup, dari dunia yang singkat ini menuju kehidupan panjang akhirat adalah keimanan, ketakwaan, dan amal saleh. Itulah bekal terbaik kita.

 

Allah berfirman,

3 (#rß ¨rt s?ur  cÎ*sù u ö yz Ï #¨ 9$# 3 uqø)­G9$# 4

“… Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…” (QS. Al-Baqarah [2]: 197)

 

Kemudian tentang bekal berupa amal, Hadis Nabi menjelaskan, “Ada tiga perkara yang mengikuti orang yang meninggal dunia: keluarga, harta, dan amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya,” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

 

Hadis ini tentu saja tidak mengajarkan kita untuk membenci harta, sebab itu adalah bagian dari bekal untuk hidup di dunia. Juga tidak mengajak kita untuk mengabaikan keluarga dan sesama, sebab tidak mungkin kita hidup di dunia ini tanpa mereka. Secara fisik harta itu memang kita tinggalkan, tetapi nilai amal saleh dari harta itu akan abadi bersama kita. Hal itu hanya bisa terjadi apabila harta itu kita belanjakan di jalan yang diridhai Allah. Demikian juga dengan keluarga dan saudara-saudara kita, jasad mereka memang tidak menyertai kita lagi, tetapi kebaikan yang kita tanamkan dalam interaksi bersama mereka tetap akan menyertai kita.

 

Saudara-saudara seiman itu akan senantiasa mengirimkan doanya untuk kita. Anak-anak yang saleh juga akan senantiasa memberi kebaikan kepada kita. Ilmu yang kita ajarkan kepada sesama juga akan menjadi tabungan yang memberi keuntungan yang tidak pernah putus. Semuanya akan menjadi amal saleh.

 

Hidup ini adalah perjalanan yang singkat. Setiap detik mengantarkan kita semakin dekat dengan batas akhir.

 

Semoga waktu yang teramat singkat ini bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya.

 

Barakallah … Bhayangkara, 14 Februari 2014

Jumat, 03 Januari 2014

Siapa masih punya Malu, tanda Dia masih Beriman!

Satu di antara sebab utama terjadinya problem bahkan konflik di muka bumi ini adalah karena tidak adanya rasa malu. Nihilnya rasa malu, menjadikan manusia lebih buas dari buaya, lebih ganas dari singa dan lebih jahat dari binatang buas lainnya.

Tetapi tetap saja, rasa malu dianggap sebagai hal biasa. Sudah tidak banyak lagi yang menyadari bahwa rasa malu sejatinya sangat menentukan segala sesuatu, termasuk nasib suatu bangsa dan negara.

Seperti apa yang belakangan ini marak terjadi, korupsi, ketidakadilan, perselingkuhan, perampokan dan pembunuhan dan berbagai macam tindak kemaksiatan, termasuk yang kini lagi populer di ibu kota negara dengan istilah 'cabe-cabean', semua berawal dari tidak adanya rasa malu.

Malu ini adalah satu bentuk akhlak yang paling penting dari setiap Muslim. Akhlak yang sangat berpenaruh pada individu, keluarga, dan masyarakat. Namun sayang, akhlak ini seakan-akan sudah asing dalam kehidupan.

Kini, banyak berita di media yang isinya saling salah-menyalahkan, saling berlomba untuk diakui yang terhebat, terdepan dan terpercaya. Bahkan ada yang pamer aurat, cipika-cipiki dengan lawan jenis yang tidak halal.

Arti Malu

Dalam buku Akhlaq al-Mu'min yang ditulis oleh Amru Muhammad Khalid, malu diartikan sebagai terkendalinya jiwa. Yakni, ketidakmampuan seorang Muslim melakukan perbuatan-perbuatan tercela atau sesuatu yang buruk. Dengan kata lain, Muslim yang pemalu adalah Muslim yang tidak bisa melihat dirinya hina di hadapan Allah Ta'ala, di hadapan manusia, atau di hadapan dirinya sendiri.

Dengan demikian, Muslim yang pemalu adalah Muslim yang mulia. Ia memuliakan dirinya di hadapan Allah, di hadapan manusia, dan di hadapan dirinya sendiri. Berarti, Muslim yang pemalu adalah Muslim yang benar-benar kuat keimanannya, sehingga ia tidak melakukan kehinaan meski terhadap dirinya sendiri, lebih-lebih kepada orang lain, apalagi kepada Allah Ta'ala.

Kata haya' yang artinya malu berasal dari kata 'hayah' yang artinya 'Kehidupan.' Karena itu kalau kita berkata, "Orang itu malu," berarti orang itu memiliki denyut kehidupan yang kuat, sehingga ia benar-benar menjaga diri agar tidak terperosok dalam kehinaan.

Jadi, tidak salah jika ada ungkapan seperti ini, "Manusia yang paling sempurna hidupnya adalah manusia yang paling sempurna rasa malunya."

Malu bukan Minder

Namun demikian, masih banyak orang yang salah paham. Malu kadangkala dianggap sebagai sifat rendah diri alias minder. Padahal, keduanya sangatlah jauh berbeda. Menurut satu pendapat, minder diartikan sebagai kebingungan yang muncul pada diri manusia sebagai akibat dari situasi tertentu.

Lebih dari itu, minder tidak berasal dari keimanan yang kuat. Ia justru lahir dari sifat pengecut dan dari sifat takut. Karena pribadi yang minder adalah pribadi yang lemah, yang tidak mengetahui nilai dirinya.

Sedangkan malu, tidak bersumber dari sifat buruk seperti pengecut dan penakut. Malu bersumber dari keimanan yang kuat, sehingga Muslim yang pemalu adalah Muslim yang menjauhi segala bentuk kehinaan.

Bagian dari Iman

Rasulullah bersabda, "Iman mempunyai enam puluh lebih cabang. Dan malu adalah salah satu cabangnya." (HR. Bukhari).

Mari kita kaji secara logis, mengapa dari enam puluh cabang iman malu yang beliau sampaikan? Berarti, malu adalah pengantar terbaik seorang Muslim sampai pada 59 cabang iman lainnya. Mengapa?

Dengan malu, seorang Muslim tidak akan berzina, menampakkan auratnya kepada semua orang, mencuri apalagi korupsi. Bahkan dengan malu seorang Muslim tidak akan menghina atau membicarakan aib saudaranya. Jadi, malu bisa mencegah seorang Muslim dari berbuat jahat.

Kemudian, secara naqli, Rasulullah menjelaskan pada hadits yang lainnya. "Malu seluruhnya baik." (HR. Muslim). Kemudian pada hadits lainnya lagi, "Malu selalu mendatangkan kebaikan." (HR. Bukhari).

Dengan demikian, maka malu adalah out put keimanan. Siapa yang keimanannya baik maka rasa malunya akan sempurna. Atau, siapa yang malunya kuat, maka imannya sempurna. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah, "Malu dan iman saling bertaut. Jika salah satunya diangkat, yang lainnya juga terangkat." (HR. Hakim).

Jadi, tidak salah jika ada ungkapan, "Milik siapa kebaikan, iman dan akhlak?" Semuanya adalah milik Muslim yang memelihara rasa malu.

Tidakkah Kita Malu?

Suatu ketika datang seorang lelaki kepada Ibrahim ibn Adham dan berkata, "Wahai Imam, aku ingin bertaubat dan meninggalkan dosa. Tetapi, tiba-tiba aku kembali berbuat dosa. Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa melindungiku hingga aku tidak lagi bermaksiat kepada Allah."

Ibrahim ibn Adham pun menjawab, "Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, jangan bermaksiat di bumi-Nya."

Orang itu pun bertanya, "Lalu di mana aku bisa bermaksiat, sementara seluruh bumi ini adalah milik Allah?" Ibrahim ibn Adham pun menjawab, "Tidakkah engkau malu seluruh bumi ini milik Allah tetapi engkau masih bermaksiat di atasnya?"

"Jika engkau ingin bermaksiat, jangan memakan rizki dari-Nya. Orang itu pun bertanya, "Bagaimana aku bisa hidup?" Ibrahim bin Adham pun berkata, "Tidakkah engkau malu memakan rizki dari-Nya, sementara engkau bermaksia kepada-Nya?" "Tidakkah engkau malu bermaksiat kepada-Nya, sementara Allah senantiasa bersamamu dan dekat denganmu?"

Lalu, Ibrhamin ibn Adham melanjutkan, "Jika engkau tetap ingin bermaksiat, maka apabila malaikat maut datang kepadamu untuk mencabut nyawamu, katakan padanya, 'Tunggu sampai aku bertaubat!'"

Orang itu menjawab, "Adakah yang bisa melakukan itu?" Ibrahim berkata, "Tidakkah engkau malu malaikat maut datang kepadamu dan mengambil ruhmu sementara engkau dalam kondisi bermaksiat?"

Bercermin dari kisah hikmah ini, tentu kita tidak punya ruang sesenti pun untuk berbuat hina, kecuali Allah mengetahui. Sementara, setiap hari kita memakan rizki dari-Nya, hidup di bumi-Nya dan menikmati seluruh anugerah-Nya. Lantas, masihkah kita tidak malu kepada-Nya dengan tetap bangga di atas salah dan dosa-dosa yang setiap jiwa pasti pernah melakukannya?

Sekiranya penduduk negeri ini benar-benar beriman, tentu mereka akan malu bermaksiat kepada Allah. Dan, sekiranya penduduk negeri ini benar-benar serius memelihara rasa malunya, tentu tidak akan terjadi segala bentuk kerusakan moral, kerusuhan sosial, atau pun kehidupan bebas tanpa aturan.*


http://www.hidayatullah.com/read/2013/12/19/13470/siapa-masih-punya-malu-tanda-dia-masih-beriman.html

Muslim Sejati Tak Ragu Soal Rizki

AWAL tahun 2014 dunia diperhadapkan dengan berbagai macam situasi dan prediksi tak menentu, utamanya dalam hal ekonomi (rizki). Hal ini didasarkan pada beberapa isu keuangan dimana nilai mata uang rupiah terus mengalami penurunan terhadap dolar.

Khawatir tentu bukan sikap yang keliru. Karena khawatir atau takut itu merupakan bagian dari fitrah manusia. Tetapi, sebagai Muslim kita tidak boleh berlebihan dalam menyikapi berbagai macam isu yang muncul di media bahwa akan terjadi 'kekacauan' ekonomi, sehingga terbesit niat negatif.

Andaikata isu itu terbukti, sebagai Muslim kita tetap harus pada ke-Islam-an kita dengan penuh kesungguhan. Sebab, Allah yang Maha Memelihara alam ini tidak mungkin akan membinasakan hamba-hamba-Nya yang benar-benar beriman.

Tetaplah menjadi Muslim yang beriman dan bertakwa, jujur, bekerja secara profesional, penuh tanggung jawab dan perkuat niat mencari nafkah untuk jihad fi sabilillah bukan bermegah-megahan. Sebab rizki yang didapat dengan peras keringat, penuh daya dan upaya, lagi halal, sungguh amat dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Hindarilah berbagai macam spekulasi yang bisa mendorong lemahnya akal untuk berfikir jernih di atas landasan iman. Jauhi pemikiran-pemikiran dangkal yang bersumber dari angan-angan kosong. Atau prasangka-prasangka yang membuat hati was-was, ragu dan bingung, sehingga lupa bahwa Allah pasti akan menolong hamba-Nya.

Tawakkal Kepada Allah

Persoalan ekonomi (rizki) sesungguhnya perkara mutlak yang telah Allah tetapkan bagi setiap manusia, baik dia beriman maupun kafir.

Artinya, sebagai Muslim, hendaknya kita tidak terpengaruh dengan isu apa pun. Sekalipun ada fakta bahwa ekonomi bangsa akan mengalami masalah, hal itu harus menjadi media penting untuk semakin memperkuat iman dan takwa dengan bertawakkal kepada Allah Ta'ala.

Karena sebelum ada prediksi macam-macam dari dunia kekinian tentang ekonomi dan lain sebagainya, secara Ilahiyah kehidupan setiap Muslim pasti akan berhadapan dengan kesulitan berupa; sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS: al-Baqarah [2]: 155).

Dengan demikian maka, kesulitan atau pun ketakutan akan sesuatu dan kekurangan terhadap sesuatu sudah menjadi bagian dari kehidupan setiap Muslim. Jadi, untuk apa kita ragu, gelisah, bingung dan kalut?

Tetaplah dalam iman dan takwa dengan benar-benar bertawakkal kepada-Nya.

وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

"Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (QS. Al-maidah [5]: 23).

Dalam ayat lain Allah tegaskan,

قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

"Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal." (QS. At-Taubah [9]: 51).

Kuatkan Keyakinan Kepada Janji Allah

Imam Ghazali dalam kitab terakhirnya, Minhajul Abidin mengutip pernyataan indah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah; "Engkau mencari rizki Allah dari sisi selain-Nya. Engkau merasa itu akan membuatmu aman dari waktu dan kemalangan. Engkau bisa percaya pada jaminan orang lain meski ia kafir, tapi engkau tak percaya dengan jaminan rizki yang diberikan oleh Allah. Engkau nampaknya tidak membaca apa yang tertulis di dalam Kitabullah (mengenai rizki), sehingga imanmu lemah dan goyah (dalam mempercayai janji Allah)."

Dengan kata lain, semakin sulit situasi kehidupan dunia ini maka harusnya semakin mendorong diri untuk lebih giat dalam membaca, mengkaji, mentadabburi, mentafakkuri dan menggali makna-makna penting yang tersembunyi dari setiap barisan ayat-ayat suci-Nya.

Jika tidak, maka kita akan terombang-ambing isu kekinian yang sebenarnya hanya bersifat sementara. Sementara, kehidupan kita adalah kehidupan yang harus benar, lurus, tegak di atas nilai iman dan Islam dalam situasi dan kondisi apa pun.

Untuk itu, meyakini janji Allah adalah perkara mutlak. Dan, meyakini janji Allah itu mustahil akan semakin terpatri dalam diri kita, bila kita tidak benar-benar 'akrab' dengan al-Qur'an.

Pahamilah, Rizki itu Sudah Ditetapkan

Dalam Minhajul Abidin Imam Ghazali mengutip satu hadits Nabi, "Sudah tertulis di punggung ikan dan banteng tentang rizki si fulan. Maka orang yang tamak tidak akan mendapatkan tambahan selain kepayahannya."

Hadits ini memberikan petunjuk bahwa setiap Muslim jangan terjebak bujuk rayu nafsu dan setan. Rizki itu sifatnya pasti, selama ada kehidupan maka pasti ada rizki. Tamak alias rakus hanya akan menghasilkan kepayahan.

Lihatlah ke penjara, betapa mereka yang dulu tersenyum karena bisa korupsi, kini menangis dan bersedih hati. Sekiranya mereka jujur, tentu tidak perlu menghabiskan masa tuanya dalam penjara. Semua itu adalah bukti bahwa rakus hanya akan membawa pelakunya pada penderitaan.

Bahkan, Imam Ghazali menyampaikan nasehat gurunya, "Sesungguhnya apa yang ditakdirkan sebagai makanan yang engkau kunyah, maka tidak akan dikunyah oleh orang lain. Maka, makanlah bagian rizkimu itu dengan mulia, jangan engkau memakannya dengan hina."

Jadi, mari siapkan diri dan keluarga kita untuk semakin dekat kepada Al-Qur'an, sehingga semakin kuat iman dan takwa kita kepada-Nya, semakin kokoh ketawakkalan kita kepada-Nya. Karena hanya dengan itulah, kita akan semakin percaya diri menjadi Muslim.

Semakin sulit kehidupan dunia harus mengantarkan kita dan keluarga untuk semakin yakin kepada janji Allah, termasuk soal rizki. Karena hakikat hidup ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya (QS. 51: 56).

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Apa pun yang terjadi, suka atau duka, hakikatnya satu, yakni hanya ujian. Maka tetaplah dalam keyakinan penuh atas segala janji Allah dengan tetap melakukan amal-amal yang terbaik di sisi-Nya.*


http://www.hidayatullah.com/read/2014/01/03/14218/muslim-sejati-tak-ragu-soal-rizki.html