Selasa, 13 Mei 2014

Untuk Apa Kita Ada?

Kalau direnungi secara dalam, seorang
manusia hadir di dunia benar-benar hanya
sesaat saja, seperti sekejab mata jika di
bandingkan dengan usia bumi yang sudah
sangat tua. Ibarat matahari yang nampak
terlihat, terbit dan tenggelam begitu lah
perjalanan hidup manusia di dunia ini. Yang
membedakannya, matahari terbit dan
tenggelam kemudian terbit lagi dan
tenggelam lagi dan seterusnya, sementara
seorang manusia terbit dan tenggelam,
kemudian tidak akan pernah terbit lagi untuk
selamanya.

Kehidupan yang sesaat diberikan oleh Tuhan
kepada manusia tidak lain agar manusia bisa
memberikan pengabdian terbaik kepada-Nya,
kepada sesama manusia dan seluruh alam
sehingga manusia tersebut benar-benar
menjadi orang yang bermanfaat. Sebagian
lahir dengan mengikuti kodrat alamiah
manusia sebagai pengabdi untuk membuat
kehidupan di bumi menjadi lebih baik.

Sementara sebagian manusia hidup di dunia
ini dalam kondisi tidak kreatif, lahir menjalani
kehidupan, kemudian meninggal dunia,
berlalu seperti debu yang tertiup angin di
musim panas. Kehadiran dan
ketidakhadirannya di dunia tidak memberikan
pengaruh apa-apa, dan inilah kebanyakan
manusia.

Ada juga manusia yang hadir di dunia ini
memberikan warna hitam, kehadirannya
mempersuram kehidupan di muka bumi
dengan berbagai kerusakan yang
dilakukannya. Setelah dia berlalu sesuai
dengan umur yang diberikan Tuhan, dia
kemudian meninggalkan warisan hidup
berupa kekacauan dan ketidakserasian.

Tentang hal ini, saya teringat pertanyaan Guru
kepada saya, "Untuk apa Tuhan menciptakan
daun jelatang?". Jelatang adalah salah satu
jenis semak yang batang dan daunnya sangat
gatal bila disentuh. Jelatang sepintas lalu
tidak bisa dimanfaatkan untuk apapun oleh
manusia, hanya mengganggu saja. Saya tidak
bisa menjawab pertanyaan Guru tentang
jelatang tersebut dan kemudian Beliau
menjawab sendiri, "Untuk meramai-ramaikan
dunia".

Jadi kehadiran Jelatang di muka bumi ini
hanya untuk membuat bumi menjadi ramai,
tidaka lebih dan tidak kurang. Lalu bagaimana
kehadiran kita di dunia yang fana ini? Apa
sama dengan Jelatang?

Tuhan menciptakan rumput untuk dimakan
kambing, Tuhan menciptakan kambing untuk
dimakan manusia, Tuhan menciptakan
manusia untuk?

Tuhan menciptakan plankton untuk di makan
ikan, Tuhan menciptakan ikan untuk dimakan
manusia, Tuhan mencipakan manusia untuk?

Kalau kita tidak mengetahui untuk apa tujuan
Tuhan menciptakan manusia, berarti
kehadiran kita di dunia ini sama dengan
kehadirat ikan, rumput, kambing dan lain-lain,
hanya sebagai pelengkap agar dunia ini
menjadi ramai.

Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan
yang sangat istimewa, untuk mengabdi
kepada-Nya lewat ibadah dan lewat aktifitas
sehari-hari yang bisa memberikan manfaat
kepada semua. Nabi juga pernah memberikan
nasehat tentang hal ini dimana manusia
terbaik menurut Beliau adalah manusia yang
paling bermanfaat untuk sesama.

Semakin memberikan manfaat kepada
sesama, maka semakin baik nilai manusia
dimata Allah dan Rasul-Nya. Atas dasar itu,
harapan Nabi kepada Ummatnya agar dalam
kehidupan yang dijalani hendaknya bisa
menjadi rahmat bagi keluarga, lingkungan
dan bisa menjadi rahmat bagi seluruh Alam.

Dalam kehidupan yang sangat singkat ini,
mari kita renungkan dalam-dalam tentang
apa yang telah kita lakukan di dunia ini,
apakah telah sesuai dengan tujuan
penciptaan sebagai pengabdi yang
memberikan manfaat untuk semua atau
keluar dan tujuan tersebut, memberikan
kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan
manusia dan makhluk lain.

Semoga kita termasuk jenis manusia yang
kehadiran kita di dunia dalam waktu singkat
bisa memberikan warna indah bagi dunia dan
isinya sehingga ketika kita kembali kehadirat-Nya akan disambut oleh Allah dengan penuh
kerinduan, karena kita telah menyelesaikan
tugas-Nya sebagai penyebar kebaikan di
muka bumi.

Amin ya Rabbal 'Alamin

http://sufimuda.net/2014/05/13/untuk-apa-kita-ada/

Kamis, 08 Mei 2014

Cermin

Dalam masyarakat, terkenal dengan
pepatah, "Rupa buruk cermin dibelah"
yang bermakna sudah menjadi kebiasaan setiap kesalahan atau kekurangan diri, kita cenderung mencari alasan dengan menyalahkan orang lain disekitar kita. Kita cenderung menyalahkan lingkungan yang
tidak lain adalah cermin bagi diri kita
sendri.

Apabila engkau melihat aib (kesalahan)
pada diri orang lain, maka ucapkanlah dalam diri, "Sungguh, aib itu ada pada diriku. Karena seorang muslim adalah cermin bagi muslim yang lainnya. Yang dilihat seseorang pada cermin hanyalah bayangan dirinya sendiri" demikian nasehat dari Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi yang layak untuk direnungi.

Kalau lingkungan, teman-teman, orang
yang kita kenal dan alam ini adalah cermin bagi diri sendiri, maka apapun yang kita lihat adalah diri kita sendiri. Kalau kita mengatakan orang lain sombong maka seharusnya kita
menyadari bahwa itulah cermin diri kita
yang masih menyimpan perasaan sombong. Kalau kita mengatakan orang lain penipu, pencuri, dan sekian banyak kesalahan tidakkah kita sadari kalau itu adalah cermin dari diri kita sendiri? Bukanlah itu adalah diri kita sendiri
yang terlihat pada sebuah cermin?

Sudah menjadi hukum alam bahwa
segala sesuatu di dunia ini tersusun dengan demikian rapi. Ada hukum yang tidak tertulis di alam ini yaitu hukum Ketertarikan (Law Attraction) di mana benda yang sejenis dan segelombang akan menarik benda yang sama pula. Tidak mungkin kambing berkawan
dengan harimau atau ayam berkawan
dengan musang, masing-masing akan
bersahabat dan dekat dengan yang sejenis. Penipu akan berkawan dengan penipu dan orang jahat akan dekat dan menarik orang jahat yang sejenis untuk dekat dengannya.

Kalau suatu saat anda diperlakukan tidak
adil, ditipu misalnya, biasanya kita lebih
senang menyalahkan orang yang menipu kita daripada kita merenung dan menanyakan dalam diri kita, magnet apa yang menyebabkan kita menarik si penipu tersebut sehingga bisa bersentuhan dengan kita?

Di dalam Terekat, Zikir adalah benteng
yang melindungi pengamalnya dari godaan-godaan atau serangan-serangan yang membuat diri menjadi kacau dan
mengikuti gelombang yang sesat tersebut. Ketika ada yang berani "menyerang" kita, apakah dalam
bentuk penipuan, mendapat kata-kata
kasar atau perlakukan tidak menyenangkan lainnya berarti pertahanan kita telah bobol dan pos-pos yang seharusnya di isi dengan Dzikir
telah kosong sehingga bisa ditembus
oleh musuh.

"Hanya Wali yang Kenal dengan Wali"
demikian prinsip yang pernah kita ketahui dalam dunia tasawuf. Artinya seorang Kekasih Allah hanya bisa dikenali oleh orang yang segelombang. Ketika dalam diri kita masih membawa gelombang yang berbeda maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah bisa berkenalan apalagi berdekatan
dengan Wali Allah.

Jadi, cara terbaik untuk memperbaiki
hidup agar lebih berkualitas adalah dengan banyak bercermin dan merenungi diri sendiri. Menumpahkan kesalahan kepada orang lain hanya akan membuat kita senang sesaat akan tetapi dalam jangka panjang akan mendatangkan masalah yang jauh lebih
besar karena sudah menjadi hukum di alam ketika kita mengeluarkan energi negatif maka energi tersebut akan berlipat ganda dan akan kembali kepada kita. Kalau anda mencaci maki dan membuka aib (kesalahan) orang lain
maka tunggulah sudah menjadi hukum
pasti caci maki akan kembali kepada anda dan aib anda akan diketahui oleh orang lain dalam skala yang lebih luas.

Mari kita banyak bercermin kepada
lingkungan sekitar untuk memperbaiki
diri sendiri. Menutup tulisan ini saya
mengutip sebuah syair dari seorang penyair sufi Hamzah Fanshuri, "Kembalilah menjadi diri agar engkau lebih berarti". Wallahu'alam Bishawab.

Ketika Ditimpa Musibah (2)

Bagi orang beragama, cara terbaik yang harus
dilakukan ialah kembali kepada Tuhan. Kita
harus yakin, sebesar apa pun sebuah problem
pasti masih di ambang batas kemampuan
hamba-Nya.

Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, tidak
mungkin membebani sesuatu di luar batas
kemampuan dan daya dukung hamba-Nya.
"Allah tidak akan membebani hamba-Nya
melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS
al-Baqarah [2]: 286).

Dalam perspektif tasawuf, musibah atau
kekecewaan hidup adalah salah satu wujud
"surat cinta" Tuhan kepada hamba-Nya.
Mungkin Tuhan merindukan hamba-Nya, tetapi
yang bersangkutan terkecoh dan tersesat
dengan kesenangan duniawi.

Akhirnya, Tuhan mengutus musibah atau
kekecewaan kepadanya dan ternyata ia secara
efektif kembali kepada Tuhannya.

Seseorang yang hidup di dalam kemewahanan
atau dalam kondisi berkecukupan sering kali
lebih sulit untuk melakukan pendakian (taraqqi)
kepada Tuhannya karena semua kebutuhannya
terpenuhi.

Kiat menyikapi musibah, kita harus tawakal,
menyerahkan diri secara total dan sepenuhnya
kepada Allah SWT. Allah SWT sedang mencintai
hamba-Nya dan ingin menyelamatkannya dari
siksaan lebih pedih dan lama.

Nabi pernah bersabda: "Tidaklah seorang
Muslim ditimpa musibah, kedukaan, penyakit,
kesulitan hidup, kesengsaraan, hingga semisal
duri yang menusuk kakinya, melainkan itu
semua berfungsi sebagai pencuci dosa masa
lampau." (Muttafaq Alaih).

Dalam kesempatan lain, Rasulullah menegaskan
dalam hadis dari Anas RA yang diriwayatkan
Turmudzi: "Jika Allah SWT menghendaki
kebaikan kepada hamba-Nya maka Ia
menyegerakan siksaan-Nya (di dunia) dan jika
Allah SWT menghendaki sebaliknya kepada
hamba-Nya maka Ia menunda siksaan-Nya di
hari kiamat."

Musibah dan kekecewaan tidak mesti diratapi
terlalu lama. Sering kali kita harus bersyukur
bahwa musibah memang membawa
kekecewaan hidup, tetapi pada saat bersamaan
kita bisa merasakan adanya kedekatan khusus
diri kita dengan Tuhan.

Sering kali justru rasa kedekatan itu lebih
menonjol ketimbang rasa kekecewaan itu. Ini
artinya, musibah membawa nikmat dan betul-betul musibah terasa sebagai "surat cinta"
Tuhan kepada kekasih-Nya.

http://m.republika.co.id/berita/dunia-islam/gaya-sufi/14/05/08/n58gec-belajar-dari-suasana-batin-ketika-ditimpa-musibah-2