Kamis, 20 Juni 2013

Menyambut Ramadhan

MENYAMBUT RAMADHAN

Tak terasa kita telah memasuki pertengahan bulan Sya'ban, tepatnya 12 Sya'ban 1434 H. Itu berarti bahwa sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan.

Bagi seorang muslim, tentu kedatangan bulan Ramadhan akan disambut dengan rasa gembira dan penuh syukur, karena Ramadhan merupakan bulan barokah, bulan penuh rahmat dan ampunan, serta sarana untuk meraih gelar muttaqin, orang-orang yang bertakwa.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita melakukan persiapan diri. Persiapan diri diri yang dimaksud adalah,

Pertama, berdoa kepada Allah Swt, sebagaimana yang dicontohkan para ulama salafusshalih (orang-orang soleh terdahulu). Mereka berdoa kepada Allah Swt dengan sungguh-sungguh agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan.

Di antara doa mereka itu adalah: "Ya Allah, serahkanlah aku kepada Ramadhan dan serahkan  Ramadhan kepadaku dan Engkau menerimanya kepadaku dengan kerelaan".  (Lihat Lathaa'iful Ma'aarif, oleh Ibnu Rajab, hlm. 196-203)

Dan doa yang populer: اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان

"Ya Allah, berkatilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban, serta sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan." (HR. Ahmad dan Thabrani)

Kedua, menuntaskan puasa tahun lalu. Mungkin ada sebagian dari kita, atau keluarga kita yang —karena ada suatu udzur  yang dibolehkan— masih punya utang puasa. Atas halangan tersebut, sudah seharusnya kita mengqadha puasa sesegera mungkin sebelum datang Ramadhan berikutnya. Amirul mu'miniin, Aisyah ra sering mengqadha puasa di bulan Sya'ban.

Ketiga, persiapan keilmuan. Menurut Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, "Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya …". Jadi menyambut Ramadhan, adalah kewajiban bagi setiap muslim untuk mengkaji ilmu, wabil khusus tentang ibadah puasa.

Kempat, persiapan jiwa dan spiritual. Persiapan yang dimaksud di sini adalah mempersiapkan diri lahir dan batin untuk melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan. Salah satu di antara sunah Rasulullah Saw di bulan Sya'ban adalah puasa sunah.

Aisyah ra berkata, "Aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa sebulan penuh kecuali bulan Ramadhan, dan aku belum pernah melihat Nabi saw berpuasa ---sebanyak yang di lakukan di bulan Sya'ban. (HR Bukhari dan Muslim).

Kelima, persiapan dana (finansial). Pada bulan ini setiap muslim dianjurkan memperbanyak amal shalih seperti infaq, shadaqah, dan ifthar (memberi bukaan).

Ibnu Abbas ra berkata, "Nabi Saw adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan pada bulan Ramadhan." (HR Bukhari dan Muslim).

Keenam, persiapan fisik yaitu menjaga kesehatan. Orang yang sehat dapat melakukan ibadah dengan baik, sebaliknya bila seseorang sakit, maka ibadahnya terganggu. Rasul saw bersabda, "Pergunakanlah kesempatan yang 5 sebelum datang yang 5; masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum datang kematianmu." (HR. Al-Hakim).

Ketujuh, menyelenggarakan tarhib Ramadhan. Rasulullah mencontohkan tarhib Ramadhan dengan memberikan pengarahan atau tausiyah mengenai puasa kepada para shahabat, sebagaimana yang diceritakan oleh Abu Hurairah ra,

"Menjelang kedatangan Ramadhan, Rasulullah saw bersabda, "Telah datang syahrun mubarak (bulan yang diberkahi). Di bulan itu puasa diwajibkan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syaithan-syaithan dibelunggu. Di bulan itu juga terdapat  suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan …" (HR. Ahmad, An-Nasa'i dan Al-Baihaqi).

Akhirnya, marilah kita berdoa, semoga Allah mempertemukan kita dengan Ramadhan dan diberi kekuatan jasmani dan rohani untuk melaksanakannya.

Barakallah … Bhayangkara Baru, 21 Juni 2013

Kamis, 13 Juni 2013

Home

http://imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg=1572
Al Qur'an Membangun Peradaban Unggul

Disampaikan dalam Ceramah di Istana Negara untuk
Memperingati Nuzulul Qur�an pada tanggal 7 Agustus
2012

Assalamu alaikum wr. wb.
����� ��� �� ��������
������ ������ ������
��������� ������
����������� �����
��������� ������������
���� ��������
��������������. ���������
����� ����� ����������
������������ ���������
������� �����
�������������
������������. ������
������:

Yang kami hormati Presiden Repubik Indonesia, Bapak
Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono bersama Ibu Negara,
Ibu Hj. Ani Bambang Yudhoyono;

Yang kami hormati Waklil Presiden Republik Indonesia
beserta Ibu Herawati Budiono;

Yang kami hormati Bapak dan Ibu Anggota Kabinet
Indonesia Bersatu II, Para Pimpinan dan Anggota
Lembaga Tinggi Negara;

Yang Mulia Para Duta Besar Negara-negara Sahabat;

Yang kami hormati para alim ulama�, cendekiawan,
dan hadirin yang berbahagia;

Pada kesempatan yang mulia ini, ijinkan saya bersama-sama para hadirin semuanya, untuk tidak henti-hentinya mengungkapkan rasa syukur, memuji asma
Allah, yang telah melimpahkan rahmat taufiq dan
hidayah kepada kita semua. Shalawat dan salam
semoga terlimpah pada junjungan kita, nabi besar
Muhammad saw., keluarga, sahabat, kita semua dan
siapa saja yang mengikuti dan mencintainya.

Selanjutnya, saya masih ingin mengajak kepada para
hadirin sekalian untuk bersama-sama mensyukuri,
bangsa Indonesia ditakdirkan oleh Allah sebagai
bangsa dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di
dunia. Bangsa yang majemuk, tetapi bersatu. Bangsa
yang diwarisi oleh pendahulunya konsep dan filosofi
tentang berbangsa dan bernegara secara kokoh dan
mendasar. Secara teologis, hanya dengan cara
bersyukur, maka bangsa ini berhak mendapatkan
tambahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga berhasil
menjadi maju sebagaimana yang dicita-citakan
bersama. Pintu kemajuan adalah kemauan,
kemampuan dan kesediaan bersyukur itu.
Bapak Presiden, Ibu Hj. Ani Bambang Yudhoyono, dan
hadirin yang berbahagia;

Kita semua juga harus berbangga, sebagai bangsa
yang mayoritas penduduknya beragama Islam,
rakyatnya sudah sedemikian mencintai al Qur�an. Di
mana-mana telah tersedia mushaf baik di masjid, di
lembaga pendidikan dan bahkan di rumah-rumah.
Membaca al Qur�an telah menjadi kebiasaan di mana-mana. Anak-anak sejak usia dini telah diperkenalkan
dengan bacaan kitab suci ini. Bahkan akhir-akhir ini
tidak sedikit lembaga pendidikan yang
mengembangkan tahfidz atau menghafal al Qur�an.

Al Qur�an juga sudah dipahami sebagai petunjuk, dan
pembeda antara yang haq dan yang bathil, sebagai
peringatan, sebagai rakhmat, sebagai penjelas, sebagai
berita gembira, dan bahkan sebagai obat bagi hati yang
sedang duka dan sakit. Atas pemahaman seperti itu,
maka al Qur�an selalu dicintai dan menjadi kitab yang
dimuliakan. Lebih-lebih pada Bulan Ramadhan, suara
bacaan al Qur�an terdengar di mana-mana sehingga
hampir-hampir tidak pernah sepi dari bacaan al
Qur�an.

Akan tetapi hal yang masih perlu direnungkan adalah,
apakah fungi-fungsi kitab suci tersebut sudah
sepenuhnya ditangkap dan dijadikan pedoman oleh
umat Islam. Al Qur�an memang telah dibaca, akan
tetapi apakah kandungannya telah dipahami
sepenuhnya. Apakah al Qur�an benar-benar telah
menjadi landasan kehidupan sehari-hari bagi umatnya.
Manakala al Qur�an telah difungsikan, semestinya
terdapat pembeda yang signifikan antara orang atau
masyarakat yang dekat dengan kitab suci ini, dan yang
tidak.

Atau dalam bahasa lain, al Qur�an telah dicintai tetapi
belum sepenuhnya dijadikan pembeda antara yang haq
dan yang bathil, belum dijadikan petunjuk dan penjelas,
dan bahkan juga belum dijadikan sebagai obat bagi
mereka yang hatinya sedang sakit. Kita mesti
membayangkan, atas dasar keindahan al Qur�an itu,
maka sebagaimana yang diungkapkan oleh Nabi
sendiri, bahwa manakala seseorang berpegang teguh
pada dua hal, yaitu al Qur�an dan as sunnah, maka di
mana dan kapan pun tidak akan mengalami kesesatan.
�������� ��������
���������� ����
���������� ���
������������� ������� :
������� ����� �� �������
����������
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu
tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya,
(yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (H.R. Malik;
al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm).

Betapa indahnya kehidupan yang diliputi oleh al
Qur�an, telah dibuktikan oleh Nabi Muhammad sendiri,
dalam membangun masyarakat Madinah. Juga oleh
beberapa dekade setelahnya, misalnya pada masa Bani
Ummayyah di Spanyol dan Abbasiyah di Baghdad.
Umat Islam ketika itu sangat berwibawa, mencapai
puncak keemasan oleh karena al Qur�an dan as
sunnah dijadikan pegangan kehidupan sehari-hari. Ilmu
pengetahuan ketika itu berkembang pesat, dan
demikian pula hukum dan keadilan berhasil ditegakkan.

Bapak Presiden,Ibu Hj. Ani Bambang Yudhoyono dan
hadirin yang berbahagia

Dalam perkembangan lebih lanjut, sejarah peradaban
Islam, ternyata surut atau mengalami kemunduran.
Sebagai penyebabnya, Islam hanya dipahami dari
aspek yang terbatas. Konflik di mana-mana terjadi.
Pertikaian itu tidak menyangkut hal yang bersifat
substantif atau mendasar, melainkan terkait hal yang
bersifat furuk. Muncullah berbagai madzab, aliran-aliran, yang di antara mereka kadangkala tidak mau
kompromi. Perbedaan itu jika dikaji secara saksama,
sebenarnya hanya menyangkut aspek sederhana, ialah
terkait dengan kegiatan ritual. Masing-masing
kelompok hanya berbeda dalam menjalankan thaharah,
shalat ,zakat, puasa, dan haji atau yang serupa itu.

Akibatnya, Islam tampak lebih bersifat teosentris
daripada antroposentris. Orang menjalankan ibadah
sebagai wujud keber-Islamannya, seolah-olah bukan
kepentingan kemanusiaan sendiri, melainkan untuk
kepentingan Tuhan. Selain itu, keber-Islaman seolah-olah hanya terbatas pada hal yang terkait dengan ritual.
Pandangan seperti itu juga berpengaruh terhadap cara
pandang terhadap ilmu pengetahuan. Muncullah ilmu
umum dan ilmu agama. Seolah-olah dalam Islam
terdapat pemisahan ilmu secara dikotomik seperti itu.

Ilmu agama Islam hanya dipahami sebatas dalam ilmu
tafsir, ilmu hadits, fiqh, tauhid, akhlak, tasawwuf, tarekh,
dan Bahasa Arab sebagaimana diajarkan di sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan Islam pada umumnya.
Demikian pula pembidangan ilmu keIslaman, sebatas
meliputi ilmu ushuluddin, syari�ah, tarbiyah, dakwah
dan adab. Pembagian seperti itu tidak salah, akan
tetapi semestinya disiplin yang lain tidak boleh
dipisahkan dari pengertian Islam. Sebab al Qur�an
sendiri juga memerintahkan umat Islam, selain banyak
berdzikir juga merenungkan penciptaan langit dan
bumi, dan bahkan al Qur�an mengingatkan bahwa
semua penciptaan itu tidak ada yang sia-sia.
Ditegaskan dalam al Qur�an Ali Imran, 190-191:

Artinya :

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan
silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):
"Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah
Kami dari siksa neraka. (Ali Imran, 190-191)

Kita bersyukur, pada akhir-akhir ini sudah mulai
muncul kesadaran baru. Perguruan tinggi Islam yang
semula hanya mengkaji dan mengembangkan bidang-bidang keilmuan yang terbatas sebagaimana
dikemukakan di muka, telah membuka lebar-lebar
untuk mengembangkan disiplin ilmu lainnya. Beberapa
perguruan tinggi Islam di negara-negara Islam, tidak
terkecuali Universitas al Azhar di Mesir yang menjadi
salah satu kiblat perguruan tinggi Islam, telah
membuka fakultas-fakultas yang mengembangkan
berbagai disiplin disiplin seperti teknik, kedokteran,
pertanian, pertambangan, kelautan, sosiologi, psikologi,
ekonomi, politik, pendidikan dan lain-lain.

Perkembangan seperti itu juga terjadi di Indonesia.
Beberapa perguruan tinggi Islam negeri, yang semula
berbentuk sekolah tinggi dan IAIN telah berubah
menjadi Universitas Islam Negeri. Konsep-konsep baru
seperti integrasi ilmu dan agama, interkoneksi dan
integrasi ilmu dan sebagainya mulai muncul dan
dikembangkan di beberapa perguruan tinggi Islam di
Indonesia. Hasilnya, tanpa melebih-lebihkan, muncul
lulusan yang memahami kitab suci al Qur�an akan
tetapi juga menguasai disiplin ilmu, baik yang tergolong
keras maupun lunak, seperti kedokteran, sains,
ekonomi, politik dan lain-lain. Manakala perkembangan
ini berlanjut, maka Islam akan kembali dipahami dalam
perspektif yang luas, sebagaimana asalnya, yaitu ketika
di zaman Rasulullah dan para sahabat sebagaimana
dikemukakan di muka.

Bapak Presiden, Ibu Hj. Ani Bambang Yudhoyono, dan
hadirin yang berbahagia

Kiranya perlu dipahami bahwa kemunduran umat Islam
hingga dirasakan sampai akhir-akhir ini lebih banyak
disebabkan oleh faktor internal umat Islam sendiri. Di
antaranya adalah bahwa, Islam tidak dipahami lagi
secara utuh, melainkan hanya sebatas bagian dari
kehidupan, yaitu hanya menyangkut di seputar ritual
hingga Islam lebih dipahami bersifat teosentris. Selain
itu terjadi pemisahan antara kepentingan duniawi dan
ukhrowi, bahkan Islam hanya dipahami sebatas untuk
kepentingan akhirat. Akibatnya, umat Islam di mana-mana tertinggal, baik terkait ilmu pengetahuan,
ekonomi, politik, teknologi dari umat lainnya. Karena itu
walaupun jumlah umat islam di dunia mencapai 1,53
miliar (23%) dari 7 miliar penduduk dunia, umat Islam
tidak dapat mengambil peran penting dalam bidang
ekonomi, politik dan ilmu pengetahuan. Dampak
selanjutnya, umat Islam belum menjadi komunitas
unggul atau sebagai khalifah, bahkan dalam banyak hal
baru sebagai pengikut dan itupun tertinggal.

Padahal, manakala al Qur�an dipahami secara
mendalam dan difungsikan sebagaimana mestinya,
maka umat Islam akan menjadi unggul dan selalu
berada pada posisi terdepan. Hal itu telah dibuktikan
lewat sejarah, bahwa umat Islam pernah berhasil
membangun peradaban unggul. Kemajuan itu terjadi
tatkala ilmu pengetahuan tidak didikotomikan

Home

http://imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg=1554