Jumat, 11 April 2014

Hukum Kekekalan Energi

Hadirin, jamaah Jumat rohimakumullah
Marilah kita panjatkan puji syukur kita kepada Allah, syukur yang dibarengi dengan

Alkisah seorang penjual mentega yang
berpendidikan rendah dan sangat polos,
sering menjual menteganya ke tukang roti.
Suatu hari, tukang roti ini ingin mencoba
menimbang mentega yang telah dibeli
sejumlah satu kilogram untuk mengecek
apakah benar si penjual mentega
memberikan dengan jumlah yang tepat.
Ternyata ia menemukan jumlahnya kurang
dari satu kilogram dan membuat tukang roti
sangat marah sehingga membawa si
penjual mentega menghadap ke hadapan
hakim di pengadilan.

Hakim kemudian bertanya bagaimana si
penjual itu mengukur mentega yang
dijualnya. Lalu si penjual mentega
menjawab, “Yang mulia saya ini orang
bodoh dan tidak mengerti banyak hal. Saya
juga sebenarnya tidak mempunyai
timbangan”. Lalu Hakim berkata, “Kalau
begitu, bagaimana engkau menimbang
mentega yang selalu engkau jual kepada
tukang roti ini?” Si penjual mentega
menjawab, “Oh, jauh sebelum tukang roti
membeli mentega dari saya, saya telah
berlangganan membeli sekilo roti dari
tokonya setiap pagi untuk makan kami
sehari-hari. Setiap kali saya membeli roti
sekilo, saya letakkan di atas neraca sebagai
ukuran untuk dapat menjual sekilo mentega
ke tukang roti ini. Jadi, kalau mentega yang
saya jual beratnya kurang dari sekilo berarti
tukang roti sendiri yang sudah menipu saya
sejak awal”.

Dalam ilmu fisika modern, ada sebuah
hukum yang dinamakan hukum kekekalan
energi. Hukum kekekalan energi ini
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa
yang bersifat universal yakni berlaku baik
pada makrokosmos, alam semesta maupun
mikrokosmos, kita sebagai manusia. Pada
manusia, hukum ini mempunyai rumusan
sederhana begini: nilai energi yang kita
keluarkan pasti sama dengan nilai energi
yang akan kita terima. Dengan kata lain,
setiap energi yang kita keluarkan pasti satu
waktu akan kembali lagi kepada kita dalam
nilai yang seimbang dengan energi yang
telah kita keluarkan.

Secara umum, energi yang kita keluarkan
menuju pada dua titik ekstrem yaitu nilai
kebajikan dan nilai keburukan. Ketika kita
menebarkan energi kebajikan dengan
melakukan kebaikan kepada orang lain,
kebaikan itu pasti akan kembali kepada kita
entah dalam bentuk perhatian,
persahabatan, pertolongan, kasih sayang,
ataupun perasaan bermakna dan kepuasan
jiwa yang mendalam. Semakin besar nilai
kebajikan yang kita berikan kepada sesama,
akan semakin besar pula kebajikan yang
kita peroleh. Di sini, setiap kita menyebarkan
kebajikan kepada orang lain, sejatinya kita
tengah menyebarkan kebajikan yang sama
kepada diri kita sendiri.

Namun prinsip yang sebaliknya juga
berlaku. Ketika kita melakukan keburukan
kepada orang lain, maka keburukan itu akan
kembali kepada kita, entah dalam bentuk
kebencian, kedengkian, keresahan,
permusuhan, perpecahan, atau pun
kesusahan hidup lainnya. Semakin banyak
keburukan yang kita tebarkan, satu waktu
keburukan itu akan menjadi badai kejahatan
yang menyergap diri kita sendiri. Fakta ini
menitahkan ajaran penting bahwa setiap
kejahatan yang kita lakukan kepada orang
lain, hakikatnya kita sedang melakukan
keburukan yang senada kepada diri kita
sendiri.

Ironinya, dalam menjalani roda kehidupan
ini terkadang kita menemukan orang-orang
yang lebih suka menebarkan energi
keburukan dan kejahatan. Tidak jarang kita
berjumpa dengan orang-orang yang lebih
suka menanam bibit-bibit kebencian,
permusuhan, kedengkian, fitnah, dan
hasutan kepada orang lain. Mereka adalah
orang-orang yang paradigma kehidupannya
berpijak di atas fondasi kedengkian dan
menggenggam erat slogan SMS berwajah
negatif: Senang Melihat orang lain Susah
dan Susah Melihat orang lain Senang.

Nah, kisah di atas merupakan sebuah
contoh demonstratif tentang bekerjanya
hukum kekekalan energi: energi keburukan
yang kita keluarkan pasti akan kembali
kepada diri kita lagi, bisa dalam bentuk yang
sama atau bentuk yang berbeda. Di sinilah
kiranya cukup bijak bila kita harus berhati-hati dan menghentikan dengan sekuat
kemampuan kita dalam menebarkan energi
kejahatan kepada sesama. Sebab bila tidak,
seperti tukang roti dalam kisah di atas,
kejahatan itu pasti akan kembali menimpa
kita kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar