Senin, 27 Agustus 2012

Tafakur - Mudik ke Robbul Alamin

Oleh Munawar A Djalil

MUDIK telah menjadi trend setiap lebaran tiba. Bagi perantau mudik menjadi rutinitas tahunan sebagai suatu tradisi pulang ke kampung halaman. Para pemudik menyiapkan berbagai macam bekal dalam perjalanan termasuk hadiah untuk sanak famili.

Lebaran sering kita jadikan sebagai tonggak penting dalam kehidupan kita. Setiap tahun mudik dan lebaran datang menjenguk kita, namun sering luput dari renungan kita. Padahal, pernah lebaran datang ketika kita dirundung kemalangan, diliputi penderitaan dan diuji oleh berbagai kepedihan? Juga pernah lebaran datang ketika kita memperoleh keberuntungan, dipenuhi kebahagiaan dan dimanja oleh berbagai kenikmatan?

Suka dan duka memang datang silih berganti. Bahkan, terkadang ada di antara sanak saudara, karib kerabat, orang tua, sahabat yang tidak lagi berlebaran bersama kita. Mereka tidak ikut mempersiapkan Idul Fitri, mereka tidak ikut menggemakan takbir. Tidak dapat kita lihat wajah mereka yang ceria. Tidak bisa kita ulurkan tangan memohon maaf kepada mereka. Tidak sanggup kita bahagiakan mereka dengan bingkisan penganan atau pakaian. Mereka sudah duluan "mudik" ke Rabbul`alamin.

Dulu kita berpuasa dan berhari raya bersama mereka, tapi kini mereka tidak lagi di sini bersama dengan kita. Barangkali kita hanya bisa menziarahi makam atau kubur yang kini menjadi "kampung mudik" yang abadi bagi mereka sembari berdoa: "Ya Allah masukkanlah kebahagiaan kepada penghuni kubur. Tuhan kami masukkanlah mereka ke dalam syurga `adnin yang telah Engkau janjikan kepada orang-orang shaleh, sesungguhnya Engkau Maha Mulia dan Maha Bijaksana."

Setelah kita berdoa, tentu perlu kita renungkan apakah lebaran tahun depan kita masih bisa mudik ke kampung halaman dan menyampaikan doa buat mereka? Sebab, boleh jadi hari ini kita menangisi mereka, esok lusa kita yang akan ditangisi.

Bekal takwa
Sepulang dari perang Shiffin, Ali bin Abi Thalib melewati perkuburan di pinggiran kota Kuffah. Beliau berkata seraya menghadap ke arah perkuburan: "Wahai penduduk kampung yang sunyi, wahai penduduk yang tinggal di kampung yang sepi. Wahai yang berdiam di kubur yang gelap, wahai yang berbaring di atas tanah, yang terasing, yang sendirian dan yang kesepian. Kalian telah mendahului kami, kami insya Allah akan menyusul kalian. Rumah kalian sudah ditinggali orang lain, istri atau suami kalian sudah menikah lagi, harta kalian sudah dibagi-bagi. Inilah kabar dari kami. Bagaimana kabar dari kalian?" Imam Ali kemudian menoleh kepada sahabat-sahabatnya dan berkata: "Demi Allah sekiranya Allah mengizinkan mereka berbicara, mereka akan berkata: Sesungguhnya bekal yang paling baik adalah taqwa."

Bekal inilah yang sering kita lupakan. Setiap hari kita bekerja keras sebagai bekal mudik beberapa hari ke kampung halaman untuk merayakan lebaran bersama keluarga, sahabat dan teman. Ironi, kita tidak pernah terpikir bahwa kita harus berusaha keras untuk bekal mudik ke tempat asal kita. Justru bukan untuk beberapa hari tetapi untuk perjalanan yang jauh di sana, yang satu harinya sama seperti seribu tahun pada hitungan kita sekarang. Berapa banyak di antara kita yang membanting tulang untuk persiapan masa pensiun yang hanya beberapa tahun, tetapi lupa untuk mempersiapkan masa ribuan tahun setelah ajal menjemput kita.

Tahukah apa yang terjadi pada perjalanan akhir kita, pada hari pertama kita meninggalkan dunia. Inilah seperti yang dijelaskan dalan banyak hadis shahih. Pada hari akhir anak Adam meninggalkan dunia dan hari pertama berada di akhirat, harta, anak-anak dan amalnya dihadapkan kepadanya. Mula-mula ia melihat ke arah hartanya, seraya berkata: "Demi Allah aku dulu sangat rakus dan pelit mengurus kamu, sekarang apa yang dapat engkau berikan kepadaku?" Hartanya menjawab: "Ambillah dariku kain kafanmu." Kemudian dia menoleh ke arah anaknya dan terakhir ke arah amalnya seraya berkata: "Demi Allah dulu aku enggan mendekatimu, engkau terasa berat sekali bagiku, sekarang apa yang dapat engkau berikan kepadaku?" Amalnya berkata: "Aku akan menjadi sahabatmu dalam kuburmu, di padang mahsyar nanti, sampai engkau berhadapan dengan Tuhanmu."

Wajah buruk dan ceria
Bila yang meninggal orang yang berbuat maksiat. Seseorang yang sangat buruk mukanya, sangat busuk baunya duduk di sampingnya. Bila sesuatu yang menakutkan terjadi ia menambah ketakutan itu. Bila si mayat melihat yang mengerikan ia menambah kengeriannya. Mayat berkata: "Engkau betul-betul sahabat yang paling buruk. Siapa kamu sebenarnya?" Orang buruk itu berkata: "Aku adalah amalmu. Dulu amalmu buruk karena itulah mukaku buruk. Dulu amalmu busuk, karena itu bauku busuk."

Apakah kita nanti akan ditemani yang berwajah indah atau yang sangat buruk. Apakah kita termasuk wujuhun khasyi'ah (wajah yang ketakutan) atau wujuhun na'imah (wajah yang ceria gembira) sebagaimana firman Allah swt dalam Alquran: "Sudahkah datang padamu peristiwa yang menguncangkan? Wajah-wajah pada hari itu tunduk ketakutan. Terseok-seok kepayahan. Jatuh ke dalam api yang sangat panas. Diberi minum dari mata air yang mendidih. Bagi mereka tidak ada makanan selain duri. Wajah-wajah hari itu ceria gembira. Bahagia dengan hasil usahanya. Di sorga yang tinggi. Tak akan kaudengar di sana ucapan yang sia-sia. Di sana ada mata air yang mengalir." (QS. Al-Ghasiyah: 1-16)

Mereka yang dekat dengan wajah ketakutan karena selalu lalai dalam ibadah. Padahal di kesunyian malam ketika Tuhan yang Rahman menanti, namun mereka tertidur lelap laksana sebongkah bangkai. Mereka berpuasa, tapi lidahnya tetap saja memfitnah, mengunjing, tanganya terus saja digunakan untuk menzalimi sesama manusia dan melakukan kemaksiatan. Ketika mereka berbuka puasa tidak henti-hentinya memasukkan makanan dalam perut dari harta rampasan, dari keringat fakir miskin. Bagaimana mungkin kita mendapatkan wajah ceria kalau tangan kita berlumur dosa? Ali mengatakan: "Bekal mudik yang paling buruk adalah berbuat zalim kepada hamba Allah."

Akhirnya mari kita merenung bagi orang yang kita kasihi yang duluan "mudik" ke Rabbul`alamin, apakah kita sudah cukup bekal yang menyusul mereka ke kampung abadi. Marilah kita bermohon kepada Allah, agar kita tidak menghancurkan puasa kita dan ibadah lain pada Ramadhan lalu dengan melalaikan perintah Allah dan melanggar larangannya di bulan-bulan lain. Kiranya di bulan penuh fitrah ini kita benar-benar kembali fitrah seperti bayi yang baru dilahirkan tanpa noda dan dosa. Semoga!

* Dr. Tgk. H. Munawar A. Djalil, MA, Pegiat Dakwah/Alumni Ph.D Universitas Malaya. Email: gampatra@yahoo.com



DyStar Confidentiality Notice:
This message and any attachments are confidential and intended only for use
by the recipient named above. Unauthorized disclosure, distribution or copying
of this communication and the information contained in it is strictly prohibited.
If you are not the intended recipient, please notify us immediately and delete the
message and any attachments. Thank you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar