Rabu, 28 Agustus 2013

HAJI - MANUSIA SEJATI

KH. Jalaluddin Rakhmat

 

Arafah, Sembilan dzulhijjah, pada paruh kedua abad pertama hijriyah. Ratusan ribu kaum mislimin berkumpul di sekitar Jabal Rahmah, bukit kasih sayang. Segera setelah tergelincir matahari, terdengar gemuruh suara zikir dan doa. Ali bin Husayn bertanya kepada Zuhri, Berapa kira-kira orang yang wukuf disini?" zuhri menjawab, "Saya perkirakan ada empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya haji, menuju Allah dengan harta mereka dan memanggil-Nya dengan teriakan mereka". Ali bin Husayn berkata, "Hai Zuhri, sedikit sekali yang haji dan banyak sekali teriakan."

 

Zuhri keheranan, "Semua itu haji, apakah itu sedikit?" Ali menyuruh Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Ia mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat ke sekelilingnya. Ia terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit-jerit. Hanya sedikit manusia di antara kerumunan monyet. Ali mengusap wajah Zuhri kedua kalinya. Ia menyaksikan babi-babi dan sedikit sekali manusia. Pada kali yang ketiga, ia mengamati banyaknya serigala dan sedikitnya manusia. Zuhri berkata, "Bukti-buktimu membuat aku takut. Keajaibanmu membuat aku ngeri". (Al-Hajj fi Al-Kitab wa Al-Sunnah)

 

 

Berkat sentuhan orang yang sholih, Zuhri dapat melihat walaupun sejenak ke balik tubuh-tubuh mereka yang wuquf di Arafah. Tuhan menyingkapkan tirai material dan pandangannya menjadi sangat tajam. Ia terkejut dan kebingungan karena begitu banyak orang yang tampak pada mata lahir sebagai manusia dan pada mata batin sebagai binatang. Apakah kebanyakan kita hanyalah manusia secara majazi (kiasan) dan binatang secara hakiki?

 

 

Ibadah haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Kehidupan telah melemparkan kita dari kemanusiaan. Kita telah jatuh menjadi menjadi makhluk yang lebih rendah. Bukannya menjadi khlifah Allah, kita justeru telah menjadi monyet, babi, dan serigala.

 

 

Ketika menafsirkan firman Tuhan ; Sungguh, telah Kami cipatakan manusia dalam susunan yang paling baik. Kemudian, Kami mengembalikan mereka pada yang paling rendah dari yang rendah (QS. Al-Tin:4-5), Sayyed Hossein Nasr menulis, "Manusia diciptakan dalam susunan yang terbaik. Tetapi kemudian, ia jatuh pada kondisi bumi berupa perpisahan dan ketejauhan dari asal usulnya yang ilahiyah". (Sufi Essays)

 

 

 Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, kita adalah seruling bamboo yang tercerabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar, yang terdengar adalah jeritan pilu, dari pecahan bamboo yang ingin kembali ke rumpunnya semula. Kita hanya akan hidup sebagai bamboo sejati bila kita kembali ke tempat awal kita. Kita hanya akan menjadi manusia lagi bila kita kembali kepada Allah. Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan kepadanya kita kembali (QS 2: 156).

 

 

Para jamaah haji adalah kafilah seruling yang ingin kembali ke rumpunnya abadinya. Inilah rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia. Ketika sampai di Miqat, mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya. Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lama agar menjalani kehidupan baru. Baju-baju kebesaran, yang sering sipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepaskan. Lambing-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikubur dalam bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketika kembali ke "kampong halaman".

 

 

Di Miqat, jamaah haji menanggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia lagi. Manusia ialah makhluk yang secara potensial mampu menyerap seluruh asma Allah. Di Miqat, setelah membersihkan diri dari kotoran-kotoran masa lalunya, seorang haji keluar lagi seperti anak kecil yang baru dikeluarkan dari perut ibunya, suci dan telanjang. Perlahan-lahan ia mengenakan pakaian kesucian, kejujuran, kerendahan hati dan pengabdian. Dengan wajah yang diarahkan ke rumah Tuhan dengan hati yang sudah dibersihkan dengan tobat yang tulus, ia berkata,  "Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu."

 

 

Di rumah Tuhan, para haji memperbarui baiat mereka dengan mencium Hajar Aswad. Mereka berputar bersama para malaikat di sekitar Arasy, menandakan keterikatan kemanusiaan mereka dengan ketuhanan. Di Arafah, seruling-seruling itu sudah menyatu dengan rumpun bambunya. Al-Hajju Arafah.  Di Arafah itulah haji. Di situlah bergabung semua manusia dlam kedalaman lautan ketunggalan Tuhan fi lujjah bahr ahadiyyah.

 

 

Berapa banyakkah di antara jutan orang yang beruntung dapat berhimpun di Arafah adalah haji, manusia yang sudah kembali kepada Tuhannya? Berapa besarkah di antara mereka yang kumpul di arafah tahun ini yang sudah meninggalkan selama-lamanya sifat-sifat kebinatangannya dan sebagai gantinya menyerap rahman-rahimnya Allah? Kita tidak tahu. Dahulu, ketika umat Islam masih belum mendunia, hanya sedikit yang haji. Dalam pandangan Zuhri, kebanyakan masih bertahan dalam kebinatangan mereka. Kini, kita berdoa, mudah-mudahan mereka semua menjadi haji mabrur, yakni manusia sejati yang tubuhnya menapak di bumi, tetapi ruhnya bergantung ke Arasy Tuhan.

 

 

Ketika mereka kembali ke tanah airnya, mudah-mudahan mereka menyebarkan berkah ke sekitarnya. Ketulusan hati mereka menusuk jantung orang-orang munafik. Air zamzam yang mereka bawa menjadi tetes-tetes mukjizat yang mengubah monyet yang licik menjadi manusia yang jujur. Kesucian batin mereka menghantam kepala para pecinta dunia. Air mata mereka keluar membersihkan babi-babi yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia yang dermawan. Akhirnya, kerendahan hati mereka menghantam kepala para tiran pemuja kekuasaan. Cahaya wajah yang sudah disinari Ka'bah mematahkan leher serigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. Betapa perlunya negeri ini dengan kehadiran para haji!

- See more at: http://almunawwarah.com/artikel-haji---manusia-sejati-10#sthash.Zhul3J15.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar