Rabu, 28 Agustus 2013

Haji Mabrur



"Dan ibadah haji ke Rumah itu wajib bagi manusia karena Allah (bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan kesana" ( Ali Imran 96). Apakah ukuran mampu itu? Para sahabat Nabi SAW. Menyebutkan dua: ada bekal dan kendaraan. Tetapi Al-Dhahak, ulama besar yang pernah berguru kepada sahabat, hanya mensyaratkan tubuh yang sehat dan tenaga. Bila perlu, berangkatlah ke Baitullah walaupun berjalan kaki.

Sepanjang sejarah bekal dan kendaraan tidak menjadi keharusan. Ribuan muslim dari Afrika, Yaman, dan Negara-negara Timur-Tengah lainnya berangkat ke Mekah dengan berjalan kaki. Mereka tidur disekitar Masjidilharam, hanya dinaungi langit Hijaz yang tak berwarna. Burung-burung merpati melompat-lompat di samping kepala mereka. Rambut mereka berdebu, dan pakaian mereka lusuh. Tetapi barangkali merekalah yang menurut sebuah hadits di seru Tuhan pada hari Arafah, " Hamba-hambaku datang kepadaku dengan rambut kusut dan pakaian lusuh dari sudut-sudut negeri yang jauh. Berangkatlah, wahai, hamba-hambaku, dengan ampunan-KU atasmu." Mereka berseedia berangkat tanpa bekal yang cukup dan siap menderita untuk memperoleh ampunan Allah.

Di Indonesia, banyak orang beruntung naik haji juga tanpa mempersiapkan bekal. Mereka diberi bekal dan tidak menderita. Ada lima jenis haji dalam kelompok ini. Jenis pertama adalah orang yang beruntung naik haji karena ditunjuk pemerintah untuk menjadi anggota tim pembimbing haji atau petugas yang melayani kepentingan jemaah. Orang – orang yang tidak kebagian jatah biasanya menyebut mereka itu "haji nurdin kosasih"- nutur dinas ongkos dikasih. Jenis kedua sebut saja haji getter. Mirip vote getter dalam pemilu. Mereka adalah tokoh umat Islam yang dipilih oleh perusahan ONH plus untuk menarik "konsumen" (Resminya, untuk menyertai dan membimbing jemaah) . jenis ketiga adalah " haji bonus". Mereka dapat naik haji karena memenangkan perlombaan (misalnya juara MTQ ) atau hadiah perusahaan atau bank. Jenis keempat adalah haji "rekanan". Anda memegang jabatan yang basah. Rekan Anda telah mendapat fasilitas yang menguntungkan dari Anda. Ia menyampaikan terima kasihnya dengan memberi Anda bekal naik haji- kalau perlu, berikut keluarga Anda. Jenis yang terakhir adalah yang paling beruntung- " haji bisnis". Mereka adalah penyelenggara bisnis haji. Mereka berangkat ke Mekah, melakukan ibadah haji, dan memperoleh keuntungan. Mereka sudah jelas mendapatkan fiddunya hasanah dan mudah- mudahan fil akhirati hasanah juga.

Apakah mereka termasuk kategori orang –orang yang mampu? Tentu saja. Kemampuan sekarang harus didefinisikan kembali. Anda sudah mampu bila Anda dapat sampai ke Tanah Suci dengan cara apa saja yang halal. Manakah yang mabrur-yang mempersiapkan bekal atau yang diberi bekal? Yang berjalan kaki atau berkendaraan, yang mendapat ratusan juta dari pembebasan tanah atau yang menabung puluhan tahun, yang memanfaatkan peluang sebagai TKI (TKW) di Arab Saudi atau yang datang ke sana dengan penerbangan regular dari mancanegara, yang tinggal di hotel Aziz Khogeer yang megah atau yang berdesakan di kamar rumah-rumah kumuh di Syi'b Ali?


Mabrurnya haji tak diukur dari cara memperoleh bekal, tidak dari tempat tinggal, tidak juga dari tingkat kepayahan. Haji adalah perjalanan rohani dari rumah-rumah yang selama ini mengungkung mereka menuju Rumah Tuhan. Haji yang mabrur adalah haji yang berhaasil mencampakkan sifat- sifat hewaniah dan menyerap sifat-sifat robaniah( ketuhanan). Ketika Abu Bashir terpesona mendengarkan gemuruh zikir orang-orang tawaf, Imam ja'far As- Shadiq mengusap wajahnya. Ia terkejut karena ia kemudian menyaksikan banyak sekali binatang di sekitar Baitullah. Ia sadar bahwa zikir saja tidak cukup untuk mabrur. Diperlukan trasformasi spiritual.

Kepada Asy-Syibli yang baru kembali dari menunaikan ibadah haji, Imam Zainal Abidin – sufi besar dari keluarga Nabi bertanya, "Ketika engkau sampai di miqat dan menanggal pakaian berjahit, apakah engkau berniat meniggalkan pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah engkau tanggalkan riya (suka pamer), kemunafikan, dan Syubhat? Ketika engkau berihram apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan Allah SWT? Ketika engkau menuju Mekah apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah dan ketika engkau memasuki Masjidil Haram apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam? Ketika engkau sa'i apakah engkau merasa sedang lari menuju Tuhan diantara cemas dan harap? Ketika engkau wukuf di Arafah adakah engkau merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu dan hatimu? Dan ketika engkau melempar Jumrah, Apakah engkau berniat memerangi iblis dalam sisa hidupmu? " Ketika untuk semua pertanyaan itu Asy- Syibli menjawab tidak, Imam Zainal Abidin mengeluh, " Ah… engkau belum ke miqat, belum ihram, belum tawaf, belum sa'i, belum wukuf, dan belum sampai ke Mina." Asy- Syibli menangis. Pada tahun berikutnya ia berniat merevisi manasik hajinya.

Dalam manasik keluarga Nabi, yang menjadi persoalan bukan lagi kemampuan untuk mendapat bekal dan kendaraan tetapi kesanggupan meninggalkan rumah-rumah kita yang kotor supaya bisa beristirahat di Rumah Allah yang suci. Bila berhasil, Anda Mabrur.
- See more at: http://almunawwarah.com/artikel-haji-mabrur-4#sthash.VO8FtYov.dpuf

HAJI - MANUSIA SEJATI

KH. Jalaluddin Rakhmat

 

Arafah, Sembilan dzulhijjah, pada paruh kedua abad pertama hijriyah. Ratusan ribu kaum mislimin berkumpul di sekitar Jabal Rahmah, bukit kasih sayang. Segera setelah tergelincir matahari, terdengar gemuruh suara zikir dan doa. Ali bin Husayn bertanya kepada Zuhri, Berapa kira-kira orang yang wukuf disini?" zuhri menjawab, "Saya perkirakan ada empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya haji, menuju Allah dengan harta mereka dan memanggil-Nya dengan teriakan mereka". Ali bin Husayn berkata, "Hai Zuhri, sedikit sekali yang haji dan banyak sekali teriakan."

 

Zuhri keheranan, "Semua itu haji, apakah itu sedikit?" Ali menyuruh Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Ia mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat ke sekelilingnya. Ia terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit-jerit. Hanya sedikit manusia di antara kerumunan monyet. Ali mengusap wajah Zuhri kedua kalinya. Ia menyaksikan babi-babi dan sedikit sekali manusia. Pada kali yang ketiga, ia mengamati banyaknya serigala dan sedikitnya manusia. Zuhri berkata, "Bukti-buktimu membuat aku takut. Keajaibanmu membuat aku ngeri". (Al-Hajj fi Al-Kitab wa Al-Sunnah)

 

 

Berkat sentuhan orang yang sholih, Zuhri dapat melihat walaupun sejenak ke balik tubuh-tubuh mereka yang wuquf di Arafah. Tuhan menyingkapkan tirai material dan pandangannya menjadi sangat tajam. Ia terkejut dan kebingungan karena begitu banyak orang yang tampak pada mata lahir sebagai manusia dan pada mata batin sebagai binatang. Apakah kebanyakan kita hanyalah manusia secara majazi (kiasan) dan binatang secara hakiki?

 

 

Ibadah haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Kehidupan telah melemparkan kita dari kemanusiaan. Kita telah jatuh menjadi menjadi makhluk yang lebih rendah. Bukannya menjadi khlifah Allah, kita justeru telah menjadi monyet, babi, dan serigala.

 

 

Ketika menafsirkan firman Tuhan ; Sungguh, telah Kami cipatakan manusia dalam susunan yang paling baik. Kemudian, Kami mengembalikan mereka pada yang paling rendah dari yang rendah (QS. Al-Tin:4-5), Sayyed Hossein Nasr menulis, "Manusia diciptakan dalam susunan yang terbaik. Tetapi kemudian, ia jatuh pada kondisi bumi berupa perpisahan dan ketejauhan dari asal usulnya yang ilahiyah". (Sufi Essays)

 

 

 Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, kita adalah seruling bamboo yang tercerabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar, yang terdengar adalah jeritan pilu, dari pecahan bamboo yang ingin kembali ke rumpunnya semula. Kita hanya akan hidup sebagai bamboo sejati bila kita kembali ke tempat awal kita. Kita hanya akan menjadi manusia lagi bila kita kembali kepada Allah. Sesungguhnya kita adalah kepunyaan Allah dan kepadanya kita kembali (QS 2: 156).

 

 

Para jamaah haji adalah kafilah seruling yang ingin kembali ke rumpunnya abadinya. Inilah rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia. Ketika sampai di Miqat, mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya. Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit lama agar menjalani kehidupan baru. Baju-baju kebesaran, yang sering sipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepaskan. Lambing-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikubur dalam bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketika kembali ke "kampong halaman".

 

 

Di Miqat, jamaah haji menanggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia lagi. Manusia ialah makhluk yang secara potensial mampu menyerap seluruh asma Allah. Di Miqat, setelah membersihkan diri dari kotoran-kotoran masa lalunya, seorang haji keluar lagi seperti anak kecil yang baru dikeluarkan dari perut ibunya, suci dan telanjang. Perlahan-lahan ia mengenakan pakaian kesucian, kejujuran, kerendahan hati dan pengabdian. Dengan wajah yang diarahkan ke rumah Tuhan dengan hati yang sudah dibersihkan dengan tobat yang tulus, ia berkata,  "Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu."

 

 

Di rumah Tuhan, para haji memperbarui baiat mereka dengan mencium Hajar Aswad. Mereka berputar bersama para malaikat di sekitar Arasy, menandakan keterikatan kemanusiaan mereka dengan ketuhanan. Di Arafah, seruling-seruling itu sudah menyatu dengan rumpun bambunya. Al-Hajju Arafah.  Di Arafah itulah haji. Di situlah bergabung semua manusia dlam kedalaman lautan ketunggalan Tuhan fi lujjah bahr ahadiyyah.

 

 

Berapa banyakkah di antara jutan orang yang beruntung dapat berhimpun di Arafah adalah haji, manusia yang sudah kembali kepada Tuhannya? Berapa besarkah di antara mereka yang kumpul di arafah tahun ini yang sudah meninggalkan selama-lamanya sifat-sifat kebinatangannya dan sebagai gantinya menyerap rahman-rahimnya Allah? Kita tidak tahu. Dahulu, ketika umat Islam masih belum mendunia, hanya sedikit yang haji. Dalam pandangan Zuhri, kebanyakan masih bertahan dalam kebinatangan mereka. Kini, kita berdoa, mudah-mudahan mereka semua menjadi haji mabrur, yakni manusia sejati yang tubuhnya menapak di bumi, tetapi ruhnya bergantung ke Arasy Tuhan.

 

 

Ketika mereka kembali ke tanah airnya, mudah-mudahan mereka menyebarkan berkah ke sekitarnya. Ketulusan hati mereka menusuk jantung orang-orang munafik. Air zamzam yang mereka bawa menjadi tetes-tetes mukjizat yang mengubah monyet yang licik menjadi manusia yang jujur. Kesucian batin mereka menghantam kepala para pecinta dunia. Air mata mereka keluar membersihkan babi-babi yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia yang dermawan. Akhirnya, kerendahan hati mereka menghantam kepala para tiran pemuja kekuasaan. Cahaya wajah yang sudah disinari Ka'bah mematahkan leher serigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. Betapa perlunya negeri ini dengan kehadiran para haji!

- See more at: http://almunawwarah.com/artikel-haji---manusia-sejati-10#sthash.Zhul3J15.dpuf

Qurban Meniadakan Kehendak Diri

Ust. H. Miftah Fauzi Rakhmat

 

Kita awali pagi 10 dzulhijjah dengan memanjatkan syukur ke hadirat ilahi. Puji bagi dia, yang telah memanjangkan umur kita, yang telah memberikan kita tambahan usia, sehingga 'id, hari raya demi hari raya, kita lalui dalam limpahan nikmat-Nya yang tak terhingga. Puji bagi dia, yang telah mempercayai kita, untuk mengelola setiap detik dan tarikan nafas dalam hidup kita, dengan harapan setiap detik akan mendekatkan kita kepada Tuhan, dan setiap tarikan nafas membersihkan kita dari dosa dan kemaksiatan.

 

 

            Sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada kekasih junjungan alam, Nabi besar Muhammad SAW, kelurga beliau yang disucikan, dan para sahabat serta tabi'in yang mengikuti jalan beliau dalam kecintaan.

 

 

            Kita awali hari yang suci ini dengan membesarkan asma ilahi. Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar wa lillahil hamd. sehari yang lalu, di padang arafah, saudara-saudara kita yang berada di tanah suci, mengakui kelemahan dan kerendahan dirinya, memohonkan ampun atas setiap dosa yang diperbuatnya. Mengikuti jemaah haji, marilah kita sampaikan 'arafah kita, kita sampaikan pengakuan kita di hadapan Allah swt:

 

 

Ya Allah, inilah kami, hamba-hamba-mu yang kau beri nikmat sebelum dan sesudah kau ciptakan kami. Kau jadikan kami di antara mereka yang mendapat petunjuk dalam agama-mu. Kau bimbing kami pada kebenaran-mu. Kau jaga kami dengan kekuasaan-mu. Kau arahkan kami untuk mencintai para kekasih-mu dan membenci para musuh-musuh-mu.

Ya Allah, kemudian kau berikan kepada kami perintah, dan kami membangkang-mu. Kau cegah kami berbuat salah dan kami menentang-mu. Kau larang kami dari berbuat maksiat kepada-mu dan kami lawan perintah-mu. Inilah kami di hadapan-mu, kecil, hina, dina, rendah dan ketakutan; mengakui setiap dosa besar  yang kami lakukan, dan kesalahan banyak yang sudah kami kerjakan. Kami berlindung pada maaf-mu; kami bersandar pada kasih-mu. Ampuni setiap dosa kami. Jadikan setiap langkah kami sesudah ini adalah langkah yang mendekatkan kami kepada-mu.

Bersama kita di tanah suci, jemaah haji bergerak menuju mina. Mereka bersiap untuk melempar jumrah. Bersama mereka marilah kita lempari setan dengan batu-batu keimanan kita. Dalam tafsir Al-Kabir, Al-Fakhr Al-Razi mengisahkan sebuah percakapan antara Tuhan dengan hamba-nya. Alkisah, Allah swt berfirman kepada hamba-nya, "wahai hamba-Ku, telah-Ku jadikan taman surga bagimu dan kaupun telah memperuntukkan tamanmu untuk-ku. Tapi renungkanlah, apakah telah kau lihat taman-ku sekarang ? apakah engkau sudah masuk ke dalamnya ?" si hamba berkata, "belum ya Robbi." Allah berfirman lagi, "apakah Aku sudah masuk ke dalam taman mu ?" si hamba menjawab, "sudah ya Robbi." Allah kembali berfirman, "ketika engkau hampir masuk ke dalam surga-Ku, Aku keluarkan setan dari taman-Ku, semuanya untuk mempersiapkan kehadiranmu. Aku berkata kepadanya, 'keluarlah dari sini dalam keadaan hina dina.' Aku keluarkan musuhmu sebelum kau masuk ke dalamnya. Sekarang apa yang kamu lakukan. Aku sudah berada di taman-mu tujuh puluh tahun. Mengapa belum juga kau keluarkan musuh-Ku?. Mengapa belum kau usir dia ?" si hamba berkata, "Tuhanku, engkau berkuasa mengeluarkan dia dari taman-mu. Tapi aku, seorang hamba yang rentan dan lemah. Aku tidak-Kuasa mengeluarkanya." Allah kemudian berfirman, "orang lemah akan menjadi kuat apabila ia memasuki perlindungan raja yang perkasa. Masuklah dalam perlindungan-Ku, sehingga engkau sanggup mengeluarkan setan dari taman hatimu. Ucapkanlah a'udzu billahi minasy syaithan al-rajim. Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk."

 

 

            Kitalah hamba Allah yang disuruh untuk mengusir setan dari hati kita. Sebagaimana pada hari ini, para jemaah haji melempari jamrah untuk meneladani bagaimana Nabi Ibrahim mengusir setan-setan yang menggodanya, marilah kita lempari setan-setan yang bersemayam dalam hati kita, sehingga tentram Allah swt masuk ke dalamnya.

 

 

            Setelah melempar jumrah, jemaah haji di tanah suci kemudian berkurban. Ibadah kurban yang diawali dengan pengorbanan Nabi Ibrahim as adalah bentuk tertinggi dari kecintaan: bahwa demi menyembah Tuhan, segala bentuk kehendak diri harus ditiadakan. Ibrahim as adalah seorang manusia, yang sangat mendambakan seorang putra. Ketika putra yang dinantikanya bertahun-tahun lahir ke dunia, Ibrahim diperintahkan untuk menyembelihnya.

 

 

            Ibrahim di hadapkan pada dua pilihan: mendahulukan kehendak dirinya atau menaati perintah Tuhannya. Ibrahim tahu, kecintaanya pada Tuhan tak akan tulus sebelum ia persembah-kan sesuatu yang sangat dicintainya. Bukankah Allah swt berfirman, "lan tanalul birra hatta tunfiqu mim ma tuhibbun…tidaklah sekali-kali kamu sampai pada kebaikan sebelum kamu berikan harta yang paling kamu cintai (QS. Ali Imran:92). Dan ismail adalah anak semata wayang Ibrahim, yang kepadanya tertumpah segenap kasih dan sayang Ibrahim. Ia persembahkan putra yang sangat dicintainya, demi untuk membuktikan kecintaanya kepada Allah swt.

 

 

            Perjalanan para jemaah jaji, adalah potret kecil kehiduapan manusia. Dimulai dari 'arafah, maka hal pertama yang harus kita lakukan, adalah mengakui kelemahan dan kerendahan diri kita, di hadapan Allah swt. Kita akui segenap dosa kita, kita sampaikan permohonan taubat kita. Setelah pengakuan itu, jemaah haji kemudian berkurban. Seolah-olah Allah swt ingin menyatakan bahwa pengakuan sejati, taubat yang tulus, hanya lah taubat yang disertai dengan keinginan untuk selalu mendahulukan kehendak Allah, untuk selalu manaati Allah dengan segenap kecintaan, dan meninggalkan keiginan-keinginan duniawi, meskipun untuk itu, sebagaimana Ibrahim, kita harus korbankan apa yang sangat kita cintai.

 

 

            Setelah itu, mulailah para jemaah haji mencukur rambutnya, mereka akhiri periode ihram mereka. Mereka bertahallul. Jadilah mereka manusia yang dibersihkan dari dosa-dosanya. Jadilah mereka para haji yang kembali dalam keadaan suci, sebagaimana bayi yang baru dilahirkan ibunya. Kesucian hanya akan diperoleh setelah pengakuan dan pengorbanan.

 

            Setalah pengakuan dan pengorbanan, jamaah haji kembali pada kesucian. Begitu pula setiap insan, setelah pengakuan dan pengorbanan, mereka akan kembali pada kesucian. Jemaah haji kemudian bergerak menuju baitullah. Di sana mereka berputar mengitari rumah Tuhan. Pengakuan dan taubat yang sempurna-pengorbanan yang paripurna-adalah taubat dan pengorbanan yang diiringi dengan perputaran di seputar rumah Tuhan. Dengan kata lain, taubat kita hanya akan diterima, pengorbanan kita hanya akan dikabulkan, sekiranya kita memelihara sisa umur kita untuk terus menerus berputar di sekitar rumah Tuhan. Jemaah haji yang memelihara kesucian, setelah seluruh ritus dan amalan, diperintahkan untuk mengemban sebuah kewajiban, untuk senantiasa menghabiskan hidupnya hanya dalam ketaatan kepada Tuhan, sebagaimana di tanah suci, setelah  'arafah, tahallul, dan kurban, mereka thawaf di seputar rumah Tuhan.

 

 

            Karena itu, apa pun yang kita lakukan, kita tidak menjauhi Tuhan. Kita persembahkan kekayaan kepada Tuhan dengan membagi-bagikannya kepada hamba-hamba-Nya yang memerlukan. Bukankah dalam sebuah hadis qudsi, Allah swt berfirman, "dekatilah aku di tengah orang-orang kecil di antara kamu. Temuilah aku di tengah orang-orang yang menderita." Kita peruntukan kedudukan kepada Tuhan dengan menggunakanya untuk melindungi orang-orang yang lemah dan dilemahkan. Kita syukuri semua anugerah Tuhan kepada kita, dengan berusaha membahagiakan sesama manusia. Insya Allah, dengan begitu, kita bergabung dengan jemaah haji, yang memperoleh haji yang mabrur, sa'i yang masykur, dan usaha yang tidak pernah merugi.

 

 

            Dengan senantiasa berputar di sekitar rumah Tuhan. Kita menjalankan syukur yang sebenar-benarnya. Dalam surat Al-Baqarah, Allah swt bercerita tentang tiga kelompok manusia: orang bertaqwa, orang kafir, orang munafik, adalah penyakit yang yang bersemayam dalam hati mereka. Penyakit itu ditandai dengan dusta yang mereka lakukan. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambahpenyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih karena dusta yang mereka lakukan.(QS. Al-Baqarah:10)

 

 

            Apa yang dimaksud dengan dusta ? berdusta bukan saja menyampaikan sesuatu yang bukan fakta. Berdusta dalam banyak ayat Al-Quran, ditandai dengan dua hal. pertama, kurangnya manusia mensyukuri nikmat Tuhanya. Bukankah turun kepada kita surat Al-Rahman, yang menceritakan nikmat Tuhan yang tak terhingga, bukankah ada satu ayat yang paling sering dibaca berulang, "fabiayyi ala'I rabbikuma tukaddziban?"wahai jin dan manusia, nikmat Tuhan manakah yang akan kalian dustakan? Nikmat Tuhan yang manakah yang belum kalian syukuri ?

 

 

            Kedua, kata dusta dalam Al-Quran juga berarti meninggalkan sunnah dan ajaran Nabi. Kaddzabat tsamudu bitaghwaha, kaum tsamud telah mendustakan rasulnya karena kesesatan mereka (QS. Al-Syams;11); kaddzabat qoblahum qaumu nuhin wa'adin wa fir'aun dzul awtad, telah mendustakan para rasul sebelum mereka itu, kaum nuh 'Ad, dan fir'aun yang mempunyai tentara yang banyak (QS.Shad;12). Tidak-Kurang dari 70 ayat dalam Al-Quran bercerita tentang dusta yang dilakukan kaum-kaum terdahulu, yaitu perbuatan mereka yang meninggalkan sunnah yang diajarkan Nabi-Nabi mereka.

 

 

            Marilah kini kita lihat diri kita, seberapa banyak lagi sunnah Nabi yang masih kita ikuti? Apakah kita termasuk kedalam kelompok mereka yang mendustakan ajaran rasul-Nya ? menjelang wafatnya, Rasulullah saw bersabda, "aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, sekiranya kalian pegang teguh keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu kitab Allah, dan keluargaku, ahli baitku." Apakah kita masih mendawamkan Al-Quran dalam keseharian hidup kita ? apakah kita msih menjadikanya pedoman, untuk menuntun kebingungan kita? Ataukah kita hanya meletakkanya sebagai penghias ruangan muka.

 

 

            Kemanakah kini pusaka yang kedua? Keluarga suci yang dititipkan Nabi untuk umatnya? Tahukah kita siapa mereka? Pernahkah kita baca sejarah mereka agar menjadi cerminan hidup kita? Sekiranya kita menjawab tidak untuk setiap pertanyaan itu, kembalilah ke 'arafah, akuilah setiap kekurangan itu, kembalilah berkurban, tinggalkan seluruh kehidupan dunia, untuk kemudian kembali dan mengikuti ajaran Nabi dan keluarganya, setalah itu bercukurlah, dan mulailah untuk berputar di sekitar rumah Tuhan, dengan menghabiskan sisa usia kita, dalam syukur dan perkhidmatan, dengan senantiasa menjadikan Al-Quran dan kelurga suci Nabi sebagai pedoman.

 

 

            Marilah kini kita berdoa, semoga Allah yang Maha Kuasa, berkenan untuk memberikan karunia, menganugerahkan kita kemampuan, untuk senantiasa bertaubat dan berkurban, sehingga jadilah kita Ibrahim-ibrahim baru, yang menjawab setiap perintah Tuhan, dan melakukannya dengan penuh keikhlasan.

 

 

            Ya Allah, Tuhan kami, inilah hari yang penuh berkat dan keberuntungan. Hari ini berkumpul kaum muslimin, memenuhi sudut-sudut bumi-mu, hadir di antara mereka, pemohon, peminta dan perindu. Ada di tengah-tengah mereka, yang kini berdiri ketakutan dan mengharapkan perlindunga-mu.\

            Ya Allah, kami bermohon kepada-mu, Demi kemuran dan kebaikan-mu, sampaikan shalawat kepada Muhammad dan keluarganya. Gabungkan kami pada hari ini, dengan orang saleh yang berdoa kepada-mu

            Ya Allah, angkatlah cobaanmu pada penduduk negeri ini. Terimalah taubat kami, dalam syukur dan pengorbanan kami. Selamatkan kami dari adzab yang pedih, yang engkau turunkan dari atas kami, atau dari bawah kami, atau dengan perpecahan di antara kami.

            Ya Allah, sekiranya pada hari ini, engkau hanya menerima taubat orang yang berserah diri dan mengakui segala dosanya, demi keagungan-mu, kami berserah diri dan mengakui segala dosa kami.

            Ya llah, sekiranya pada hari ini, engkau hanya menerima kurban orang yang senantiasa taat kepada-mu, demi kebesaran-mu kami bersumpah, untuk berusaha meghabiskan sisa usia kami, dalam peribadatan dan ketaatan kepada-mu.

            Ya Allah, kami tidak akan mampu melakukan semua itu, kecuali karena kasih dan sayang-mu jua. Sampaikanlah salawat dan salam, kepada Muhammad junjungan alam, serta keluarganya yang di muliakan.

            Khotbah Ust. H. Miftah Fauzi Rakhmat setelah shalat Idul Adha di lapangan AKPI, jl. Kampus I, bandung, pada hari Jumat, 22 Februari 2002/10 Dzulhijjah 1422H.

- See more at: http://almunawwarah.com/artikel-qurban-meniadakan-kehendak-diri-19#sthash.T2DYsKWb.dpuf

Selasa, 27 Agustus 2013

Hikmah - Rindu Pemimpin Asketis

Suatu hari Rasulullah SAW tengah tidur beralaskan pelepah kurma. Sehingga bekasnya terlihat di badan beliau. Sahabat Umar bin Khathab datang mengunjunginya. Ketika Umar melihat keadaan Nabi SAW demikian Umar menangis. 

Kemudian Rasulullah bangun, "Mengapa engkau menangis?" Tanya Rasulullah SAW kepada Umar bin Khathab.

"Aku ingat kaisar dan kekuasaannya, sedangkan engkau adalah utusan Tuhan. Tetapi engkau hanya tidur beralaskan tikar." jawab Umar sembari menangis. 

"Apa engkau tidak ridha jika mereka memiliki dunia, sedangkan kita memiliki akhirat," sabda Rasulullah SAW tegas. 

Maka turunlah ayat ke-20 surat Alinsan, "Dan apabila engkau melihat keadaan di sana (surga), niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar." 

Suatu ketika sepulang dari medan peperangan. Rasulullah dan para sahabatnya, disambut bahagia oleh kaum muslim di Madinah. Seorang penjual air hendak menyalami tangan Rasulullah, tapi Nabi SAW menolaknya. Jusru Nabi sendiri yang mengambil tangannya. Saat bersentuhan, Nabi merasakan hal aneh pada tangannya. Lalu Nabi SAW melihat tangannya sangat kasar sekali. 

"Kenapa tanganmu kasar sekali?" Tanya Nabi Muhammad. "Pekerjaan saya membelah batu setiap hari, wahai Rasulullah," jawabnya. " Lalu pecahan batu itu saya jual ke pasar dan uangnya saya gunakan untuk menafkahi keluarga," sambungnya.

Kemudian Rasulullah mencium tangan penjual air itu sembari berkata," inilah tangan yang tak akan pernah disentuh api neraka selama-lamanya."

Melihat kisah di atas yang mencerminkan kesederhanaan dan kecintaan Nabi Muhammad SAW kepada rakyatnya, kita ingin menangis seperti sahabat Umar bin Khathab. Menangis karena haru dan rindu. Haru, karena sangat langka manusia seperti beliau di permukaan bumi ini. Padahal beliau adalah kepala negara dan utusan Tuhan. Sebagai kepala negara tentunya beliau bisa hidup bergelimangan harta. 

Rindu, karena kita berharap ada pemimpin, pejabat dan politisi di negeri ini menjadikan Rasulullah sebagai teladan. Pemimpin yang hidupnya asketis, yakni yang mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, kerelaan berkorban, tidak menumpuk kekayaan, serta pemimpin yang merasakan penderitaan, beban dan kesulitan rakyatnya. 

Kita rindu pemimpin yang menegakan hukum tanpa pandang bulu. Pejabat yang adil dan bijaksana. Hubungan pemimpin dengan rakyatnya harusnya seperti diilustrasikan Rasulullah, sebagai pengembala ternak yang setiap saat harus melindungi gembalaanya. 

"Setiap kalian adalah pengembala (pemimpin), dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas pengembalaannya (kepemimpinannya)," seru Nabi SAW. (HR Bukhori, Muslim)

Di Indonesia, keserakahan para pejabat merajalela. Praktik KKN dan suap marak. Para pejabat tanpa merasa malu melakukan korupsi miliaran rupiah, memanipulasi dan membohongi rakyat. Uang rakyat yang dikumpulkan rakyat untuk membangun Negara, malah dirampok wakil rakyat demi kepentingan pribadi dan golongannya. Ironinya, perilaku borok tersebut justru dilakukan oknum berpendidikan tinggi. Sungguh terlalu! 

Dengan petikan kisah di atas, kita dapat mengambil hikmahnya dan berharap para pemimpin negeri ini, dan para wakil rakyat baik di tingkat pusat hingga daerah, menjadi pemimpin asketis, serta menjadikan Rasulullah sebagai teladan. Aamiin.